Once upon a time a poor pious peasant died, and arrived before the gate of heaven. At the same time a very rich, rich lord came there who also wanted to get into heaven.
Then saint peter came with the key, and opened the door, and let the great man in, but apparently did not see the peasant, and shut the door again.
And now the peasant outside heard how the great man was received in heaven with all kinds of rejoicing, and how they were making music, and singing within.
At length all became quiet again, and saint peter came and opened the gate of heaven, and let the peasant in.
The peasant, however, expected that they would make music and sing when he went in also, but all remained quite quiet. He was received with great affection, it is true, and the angels came to meet him, but no one sang.
Then the peasant asked saint peter how it was that they did not sing for him as they had done when the rich man went in, and said that it seemed to him that there in heaven things were done with just as much partiality as on earth.
Then said saint peter, by no means, you are just as dear to us as anyone else, and will enjoy every heavenly delight that the rich man enjoys, but poor fellows like you come to heaven every day, but a rich man like this does not come more than once in a hundred years.
Jumat, 07 Mei 2010
Looking For a Bride
There was once a young shepherd who wanted very much to marry, and was acquainted with three sisters who were all equally pretty, so that it was difficult for him to make a choice, and he could not decide to give the preference to any one of them.
Then he asked his mother for advice, and she said: “invite all three, and set some cheese before them, and watch how they eat it.”
The youth did so, the first swallowed the cheese with the rind on, the second hastily cut the rind off the cheese, but she cut it so quickly that she left much good cheese with it, and threw that away also, the third peeled the rind off carefully, and cut neither too much nor too little.
The shepherd told all this to his mother, who said, take the third for your wife. This he did, and lived contentedly and happily with her.
Then he asked his mother for advice, and she said: “invite all three, and set some cheese before them, and watch how they eat it.”
The youth did so, the first swallowed the cheese with the rind on, the second hastily cut the rind off the cheese, but she cut it so quickly that she left much good cheese with it, and threw that away also, the third peeled the rind off carefully, and cut neither too much nor too little.
The shepherd told all this to his mother, who said, take the third for your wife. This he did, and lived contentedly and happily with her.
The Princess and the Pea
Once upon a time there was a prince who wanted to marry a princess; but she would have to be a real princess. He travelled all over the world to find one, but nowhere could he get what he wanted. There were princesses enough, but it was difficult to find out whether they were real ones. There was always something about them that was not as it should be. So he came home again and was sad, for he would have liked very much to have a real princess.
One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it.
It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.
Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses.
On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.
"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
Nobody but a real princess could be as sensitive as that.
So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
One evening a terrible storm came on; there was thunder and lightning, and the rain poured down in torrents. Suddenly a knocking was heard at the city gate, and the old king went to open it.
It was a princess standing out there in front of the gate. But, good gracious! what a sight the rain and the wind had made her look. The water ran down from her hair and clothes; it ran down into the toes of her shoes and out again at the heels. And yet she said that she was a real princess.
Well, we'll soon find that out, thought the old queen. But she said nothing, went into the bed-room, took all the bedding off the bedstead, and laid a pea on the bottom; then she took twenty mattresses and laid them on the pea, and then twenty eider-down beds on top of the mattresses.
On this the princess had to lie all night. In the morning she was asked how she had slept.
"Oh, very badly!" said she. "I have scarcely closed my eyes all night. Heaven only knows what was in the bed, but I was lying on something hard, so that I am black and blue all over my body. It's horrible!"
Now they knew that she was a real princess because she had felt the pea right through the twenty mattresses and the twenty eider-down beds.
Nobody but a real princess could be as sensitive as that.
So the prince took her for his wife, for now he knew that he had a real princess; and the pea was put in the museum, where it may still be seen, if no one has stolen it.
Timun Emas
Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
Malin Kundang
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Keong Emas
Di Kerajaan Daha, hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua putri Raja tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Kerena dia merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya sendiri, siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya. Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?”, tanya si nenek. "Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku", kata keong emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Kerena dia merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya sendiri, siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya. Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?”, tanya si nenek. "Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku", kata keong emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
Asal Usul Danau Toba
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Sangkuriang
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Cindelaras
Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
Bawang Merah dan Bawang Putih
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Puisi Sahabat
Sahabatku ..
Sudah lama kita bersahabat ..
Dari awal aku tak mengenalmu ..
Sekarang kau menjadi teman dekatku ..
Awalnya minyak bercampur dengan air ..
Masih tidak bersatu
Akhirnya perangko dengan lem..
Sangat dekat,takkan bisa terpisahkan..
Itu kisah masa lalu kita..
Saat kita belum mengenal..
Lama lama kita makin akrab..
Sampai sampai menjadi sahabat..
Sahabatku..
Sangat baik niatmu..
Ingin membahagiakan aku selalu..
Semangat itu tak pudar dari hatimu..
Niat itu tak terbatalkan..
Justru terlaksanakan..
Kini aku bahagia
Menjadi sahabatmu..
Sahabatku..
Kau adalah teman terbaikku..
Walau hanya sekejap
Di depan mata..
Sahabatku..
Kau akan selalu
Menjadi sahabatku…
Selamanya…
Sudah lama kita bersahabat ..
Dari awal aku tak mengenalmu ..
Sekarang kau menjadi teman dekatku ..
Awalnya minyak bercampur dengan air ..
Masih tidak bersatu
Akhirnya perangko dengan lem..
Sangat dekat,takkan bisa terpisahkan..
Itu kisah masa lalu kita..
Saat kita belum mengenal..
Lama lama kita makin akrab..
Sampai sampai menjadi sahabat..
Sahabatku..
Sangat baik niatmu..
Ingin membahagiakan aku selalu..
Semangat itu tak pudar dari hatimu..
Niat itu tak terbatalkan..
Justru terlaksanakan..
Kini aku bahagia
Menjadi sahabatmu..
Sahabatku..
Kau adalah teman terbaikku..
Walau hanya sekejap
Di depan mata..
Sahabatku..
Kau akan selalu
Menjadi sahabatku…
Selamanya…
Lingkungan
Lingkungan
Kau tempat kami berpijak
Tempat kami menghirup udara segar
Dan menanam segala tanaman
Lingkungan
Kadang kau kotor layak tempat tak terurus
Sampah yang punahkan bersihmu
Kotoran punahkan indahmu
Polusi hitamkan langitmu
Akan tetapi...
Tanaman pancarkan kesegaran
Bunga pancarkan wangimu
Bagai kau tak tua
Bagai udaramu tak terhitamkan
Inginku mengubah semua
Menjadi seperti itu
Hijau, tentram
Udaramu terputih bagai tak bernoda
Sampahmu hilang
Kotoran tak mengganggu indahmu
Agar bumi terbebas dari ancaman
Dari ancaman kematian dibumi
karena adanya global warming
Kau tempat kami berpijak
Tempat kami menghirup udara segar
Dan menanam segala tanaman
Lingkungan
Kadang kau kotor layak tempat tak terurus
Sampah yang punahkan bersihmu
Kotoran punahkan indahmu
Polusi hitamkan langitmu
Akan tetapi...
Tanaman pancarkan kesegaran
Bunga pancarkan wangimu
Bagai kau tak tua
Bagai udaramu tak terhitamkan
Inginku mengubah semua
Menjadi seperti itu
Hijau, tentram
Udaramu terputih bagai tak bernoda
Sampahmu hilang
Kotoran tak mengganggu indahmu
Agar bumi terbebas dari ancaman
Dari ancaman kematian dibumi
karena adanya global warming
ibu ku tersayang
Ibu.....
Kau yang melahirkanku
Merawatku hingga kecil sampai dewasa
Mendidikku hingga diriku telah dewasa
Ibu....
Bila aku sakit kau merawatku dengan penuh kasih sayang
Bila aku terjatuh kau mengobatiku dengan kasih sayang
Aku sayang engkau... Ibu
Kau yang melahirkanku
Merawatku hingga kecil sampai dewasa
Mendidikku hingga diriku telah dewasa
Ibu....
Bila aku sakit kau merawatku dengan penuh kasih sayang
Bila aku terjatuh kau mengobatiku dengan kasih sayang
Aku sayang engkau... Ibu
Ibu
ibu...
apa kabar
baik-baik sajakah kau
tentu sehat slalu
ibu...
jeritku,tangisku,rintihku
terhapus mendengar kata
ibu...
ibu...
kau lelah demiku
kau buang semua tenagamu
demi aku
ibu...
kau bagaikan sehelai kapas
yang sanggup membawaku
terbang dengan tenang
ibu...
aku beruntung memiliki engkau
terima kasihku ku ucapkan
air mata menitik di pipiku
apa kabar
baik-baik sajakah kau
tentu sehat slalu
ibu...
jeritku,tangisku,rintihku
terhapus mendengar kata
ibu...
ibu...
kau lelah demiku
kau buang semua tenagamu
demi aku
ibu...
kau bagaikan sehelai kapas
yang sanggup membawaku
terbang dengan tenang
ibu...
aku beruntung memiliki engkau
terima kasihku ku ucapkan
air mata menitik di pipiku
Hamsterku
Hamsterku
kau sangatlah lucu
ku sayang padamu
hamsterku
apa kamu sayang padaku
apa pun jawabanmu
ku tetap sayang padamu
hamsterku
bulumu lembut
wajahmu lucu
ku suka bermain denganmu
hamsterku
maafkan aku
terkadang lupa padamu
terkadang ku lupa memberimu makan
hamsterku
kini kau telah tiada
semoga Tuhan mengizinkan kita
untuk bertemu di sana
hamsterku
ku tak akan lupa padamu
ku tahu kau hanyalah seekor hamster
tapi ku tak melupakanmu
kau sangatlah lucu
ku sayang padamu
hamsterku
apa kamu sayang padaku
apa pun jawabanmu
ku tetap sayang padamu
hamsterku
bulumu lembut
wajahmu lucu
ku suka bermain denganmu
hamsterku
maafkan aku
terkadang lupa padamu
terkadang ku lupa memberimu makan
hamsterku
kini kau telah tiada
semoga Tuhan mengizinkan kita
untuk bertemu di sana
hamsterku
ku tak akan lupa padamu
ku tahu kau hanyalah seekor hamster
tapi ku tak melupakanmu
Untukmu Ibuku
IBU .... sungguh luas kesabaranmu
selama waktu mengandungku
IBU .... pengorbananmu sungguh besar
lelah raga tidak kau rasa
IBU .... sungguh kasihmu tak bertepi
senyum dan bahagia di hati
menyambut kehadiranku dipangkuan
IBU ... kasih dan sayangmu padaku
adalah jasa yang tak akan terbalas
adalah hutang yang tak akan terbayar
sungguh banyak yang telah aku terima
Darimu .... wahai ibu
IBU ... hanyalah do'a yang kulantunkan
semoga engkau tetap bahagia
hanyalah maaf yang kupinta darimu
karena aku banyak menyakitimu
aku ingin engkau tahu
aku mencintaimu
selama waktu mengandungku
IBU .... pengorbananmu sungguh besar
lelah raga tidak kau rasa
IBU .... sungguh kasihmu tak bertepi
senyum dan bahagia di hati
menyambut kehadiranku dipangkuan
IBU ... kasih dan sayangmu padaku
adalah jasa yang tak akan terbalas
adalah hutang yang tak akan terbayar
sungguh banyak yang telah aku terima
Darimu .... wahai ibu
IBU ... hanyalah do'a yang kulantunkan
semoga engkau tetap bahagia
hanyalah maaf yang kupinta darimu
karena aku banyak menyakitimu
aku ingin engkau tahu
aku mencintaimu
Semangat
Sudah berkali-kali berusaha
Sudah berkali-kali mencoba
Sudah berkali-kali berjanji..
Akan membanggakan orangtua
Namun.. Apa hasilnya?
Nihil.. Semua itu sia-sia
Perjuangan itu tak berguna
Kau tak menepati janjimu
Walau begitu..
Jangan hilangkan senyum di wajahmu
Jangan hilangkan semangatmu untuk terus berusaha Kalau kau menyerah..
Kau adalah Si Pengecut..
Tetaplah semangat, Teman..
Tetaplah berdoa dan berusaha
Yakinkan pada dirimu..
Bahwa kau bisa
Semangat, Teman!
Sudah berkali-kali mencoba
Sudah berkali-kali berjanji..
Akan membanggakan orangtua
Namun.. Apa hasilnya?
Nihil.. Semua itu sia-sia
Perjuangan itu tak berguna
Kau tak menepati janjimu
Walau begitu..
Jangan hilangkan senyum di wajahmu
Jangan hilangkan semangatmu untuk terus berusaha Kalau kau menyerah..
Kau adalah Si Pengecut..
Tetaplah semangat, Teman..
Tetaplah berdoa dan berusaha
Yakinkan pada dirimu..
Bahwa kau bisa
Semangat, Teman!
Doraemon
Doraemon ...
kartun favorit dan kesayanganku ...
setiap tayang kutonton kamu ...
bila tak sempat, ku sedih ...
Doraemon ...
ku punya komikmu ...
ku punya bonekamu ...
ku tonton tayanganmu ...
dan kupetik hikmah dari tayangan dan komikmu ...
Doraemon ...
robot kucing abad 22 ...
bentuk tubuh yang bulat ...
memberi kesan lucu ...
dan kesan menggemaskan ...
Doraemon ...
andai kau tahu ...
betapa ku menginginkan ...
untuk bertemu denganmu ...
Doraemon ...
ku ingin menjadi temanmu ...
Ya Allah ...
mungkinkah kartun itu ...
bisa menjadi kenyataan ...
tentu saja tidak ....
Ya Allah ...
ku tahu itu hanyalah kartun ...
tetapi tak ada yang mustahil ...
Engkau bisa membuat yang mustahil ...
menjadi kenyataan ...
mungkinkah ku akan berteman dengan doraemon ...?
kartun favorit dan kesayanganku ...
setiap tayang kutonton kamu ...
bila tak sempat, ku sedih ...
Doraemon ...
ku punya komikmu ...
ku punya bonekamu ...
ku tonton tayanganmu ...
dan kupetik hikmah dari tayangan dan komikmu ...
Doraemon ...
robot kucing abad 22 ...
bentuk tubuh yang bulat ...
memberi kesan lucu ...
dan kesan menggemaskan ...
Doraemon ...
andai kau tahu ...
betapa ku menginginkan ...
untuk bertemu denganmu ...
Doraemon ...
ku ingin menjadi temanmu ...
Ya Allah ...
mungkinkah kartun itu ...
bisa menjadi kenyataan ...
tentu saja tidak ....
Ya Allah ...
ku tahu itu hanyalah kartun ...
tetapi tak ada yang mustahil ...
Engkau bisa membuat yang mustahil ...
menjadi kenyataan ...
mungkinkah ku akan berteman dengan doraemon ...?
Wanita Paling Mulia
Kau wanita Paling Mulia
Dimuka Bumi ini
Walau engkau tak ada lagi
tak ada yang bisa menggantikanmu
Bunda,engkaulah Wanita yang Mulia itu
Yang telah melahirkanku ke muka bumi
Yang telah membesarkan ku
Yang juga telah merawatku dengan sabar
Sungguh ...,
Bila kau tak ada aku sangat kehilangan
seorang wanita mulia yang kusayangi
Dan menyayangiku pula
Bunda ...,
Kau memang Wanita Mulia,Bunda
Surga-lah tempat yang pantas kau dapat
atas semua yang kau berikan padaku
Dimuka Bumi ini
Walau engkau tak ada lagi
tak ada yang bisa menggantikanmu
Bunda,engkaulah Wanita yang Mulia itu
Yang telah melahirkanku ke muka bumi
Yang telah membesarkan ku
Yang juga telah merawatku dengan sabar
Sungguh ...,
Bila kau tak ada aku sangat kehilangan
seorang wanita mulia yang kusayangi
Dan menyayangiku pula
Bunda ...,
Kau memang Wanita Mulia,Bunda
Surga-lah tempat yang pantas kau dapat
atas semua yang kau berikan padaku
Aku Pasti Bisa!
Saat ku menyerah
Aku coba sampai bisa
Saat ku putus asa
Aku coba berlatih keras
Saat aku kebingungan
Kucoba untuk bertanya
Saat aku bersemangat
Semangatku menyala nyala
Kucoba semua
Demi masa depanku
Hasilnya tak terkira
Aku bisa!
Aku bisa
kalau aku berusaha
Apapun yang terjadi,
aku pasti bisa!
Aku coba sampai bisa
Saat ku putus asa
Aku coba berlatih keras
Saat aku kebingungan
Kucoba untuk bertanya
Saat aku bersemangat
Semangatku menyala nyala
Kucoba semua
Demi masa depanku
Hasilnya tak terkira
Aku bisa!
Aku bisa
kalau aku berusaha
Apapun yang terjadi,
aku pasti bisa!
Rabu, 05 Mei 2010
Mampukah Anaconda Menggigit?
Setiap jenis ular memiliki gigi, tetapi gigi yang dimiliki oleh Anaconda tidak berfungsi untuk menggigit atau mengunyah, tetapi sekedar untuk menahan tubuh mangsanya agar tidak mampu melarikan diri . Dan fungsi gigi pada Anaconda tidak untuk menyimpan bisa. Pada jenis ular tertentu bisa disimpan paa gigi khusus yang disebut Fangs, yang digunakan untuk membunuh mangsanya. Tetapi Anaconda tidak membutuhkan bis untuk mangsanya, tetapi hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya.
Ular Pembunuh
Anaconda seperti ular lainnya mampu membunuh mangsanya dengan melilitkan tubuhnya, meski manghsanya lebih besar dan lebih bertenaga hingga mati karena lemas, setelah buruannya mati barulah Anaconda tersebut menelan seluruh tubuh mangsanya
Anaconda lebih menyukai hewan air seperti ikan, buaya atau ular lainnya. Tetapi kadang pula Anaconda memangsa rusa atau bahkan jaguar. Anaconda termasuk hewan yang lambat bergerak, sehingga dia cenderung bersembunyi dan secara mendadak menyerang mangsanya yang lengah..
Anaconda lebih menyukai hewan air seperti ikan, buaya atau ular lainnya. Tetapi kadang pula Anaconda memangsa rusa atau bahkan jaguar. Anaconda termasuk hewan yang lambat bergerak, sehingga dia cenderung bersembunyi dan secara mendadak menyerang mangsanya yang lengah..
Ular Terbesar Sedunia
Jika seekr Anaconda mampu menelan satu ekor kambing sekaligus, tentu kita akan berpikir bahwa
Anaconda adalah tergolong ular raksasa. Tetapi baru baru ini ( Th 2008 lalu ) telah ditemukan fossil raksasa di tambang batubara di Colombia, Amerika Selatan. Para ahli Palaentologi ( Ilmu tentang hewan purba) berhasil memperkirakan panjang tubuh Anaconda tersebut adalah 43 kaki ( 14 meter ) dan beratnya 2.500 lbs atau 1250 kg.Berdasarkan penemuan tersebut para ahli menyimpulkan bahwa Ular Raksasa tersebut adalah Pemangsa buaya, atau Pemangsa Predator. Ukuran tubuh raksasa tersebut disebabkan suhu udara hutan Amazone ikut mendukungnya, yaitu sekitar 6 – 8 derajat di atas suhu tubuh Anaconda tersebut.
Anaconda adalah tergolong ular raksasa. Tetapi baru baru ini ( Th 2008 lalu ) telah ditemukan fossil raksasa di tambang batubara di Colombia, Amerika Selatan. Para ahli Palaentologi ( Ilmu tentang hewan purba) berhasil memperkirakan panjang tubuh Anaconda tersebut adalah 43 kaki ( 14 meter ) dan beratnya 2.500 lbs atau 1250 kg.Berdasarkan penemuan tersebut para ahli menyimpulkan bahwa Ular Raksasa tersebut adalah Pemangsa buaya, atau Pemangsa Predator. Ukuran tubuh raksasa tersebut disebabkan suhu udara hutan Amazone ikut mendukungnya, yaitu sekitar 6 – 8 derajat di atas suhu tubuh Anaconda tersebut.
anaconda Suka Hidup Menyendiri
Sepanjang hidupnya Anaconda menggantungkan hidupnya di sungai untuk berburu.
Anaconda adalah hewan penyendiri (solitary ) dan pemalu, sehingga jarang bisa kita temukan di alam. Mereka termasuk hewan yang pintar bersembunyi dengan baik di rawa , untuk menanti mangsa yang lewat.
Beberapa waktu silam, teradap beberapa cerita yang dilaporkan oleh petualang dari Eropa yang melakukan perjalanan di Hutan Amerika Selatan. Mereka mengaku melihat Anaconda Raksasa yang
mencapai panjang 100 kaki ( 33 meter ). Demikian juga cerita dari penduduk asli Amerika Selatan, yang kerap melihat Anaconda yang mencapai panjang 50 kaki. Dan menurut sejarah hingga kini belum pernah ditemukan Anaconda yang panjang dan berat tubuhnya hampir sama dengan cerita tersebut.
Anaconda adalah hewan penyendiri (solitary ) dan pemalu, sehingga jarang bisa kita temukan di alam. Mereka termasuk hewan yang pintar bersembunyi dengan baik di rawa , untuk menanti mangsa yang lewat.
Beberapa waktu silam, teradap beberapa cerita yang dilaporkan oleh petualang dari Eropa yang melakukan perjalanan di Hutan Amerika Selatan. Mereka mengaku melihat Anaconda Raksasa yang
mencapai panjang 100 kaki ( 33 meter ). Demikian juga cerita dari penduduk asli Amerika Selatan, yang kerap melihat Anaconda yang mencapai panjang 50 kaki. Dan menurut sejarah hingga kini belum pernah ditemukan Anaconda yang panjang dan berat tubuhnya hampir sama dengan cerita tersebut.
Anaconda
Anaconda adalah sejenis ular yang berukuran raksasa dan tidak berbisa. Meski dalam Biologi diberi nama sama dengan golongan ular, namun Anaconda sebenarnya tidak segolongan dengan ular.
Sebagai contoh untuk Anaconda Hijau diberi nama Latin
Eunectes murinus. Anaconda Hijau adalah ular terbesar di dunia dan bisa mencapai ukuran panjang tubuh Ular Phyton Anaconda paling menyenangi lingkungan berair, contohnya di sungai-sungai Hutan Amazon. Meskipun mangsa yang diinginkan Anaconda adalah hewn ternak, namun Anaconda juga bisa menewaskan manusia. Meski kejadian sangat jarang .
Anaconda yang termasuk kelompok Eunectes, . adalah Anaconda yang berukuran besar, hidup di lingkungan berair dan banyak terdapat di Amerika Selatan. Contoh dari Anaconda yang termasuk kelompok ini, adalah :
§ Eunectes murinus ( Anaconda Hijau ), termasuk Anaconda Raksasa yang hidup di Pegunungan Andes di Negara Colombia, Venezuela, the Guianas, Ecuador, Peru, Bolivia, Brazil dan kepulauan Trinidad.
§ Sedangkan kelompok Eunectes notaeus ( Anaconda Kuning ), adalah jenis yang lebih kecil dan hidup di Bolivia, Brazil, Paraguay dan Argentina.
§ Kelompok Eunectes deschauenseei ( Anaconda Bercak Hitam pada kulitnya ). Adalah jenis Anaconda yang langka, namun sering kali ditemukan di Brasil dan Guyana.
Anaconda yang pernah ditemukan oleh manusia berukuran panjang 28 kaki ( ± 7 meter ) dan berdiameter 44 inchi. Meskipun saat penemuan tidak ditimbang berat Anaconda tersebut, namun para ahli berhasil menaksir beratnya, yaiutu sekitar lebih dari 500 lbs ( ± 2,5 kuintal ).
Sebagai contoh untuk Anaconda Hijau diberi nama Latin
Eunectes murinus. Anaconda Hijau adalah ular terbesar di dunia dan bisa mencapai ukuran panjang tubuh Ular Phyton Anaconda paling menyenangi lingkungan berair, contohnya di sungai-sungai Hutan Amazon. Meskipun mangsa yang diinginkan Anaconda adalah hewn ternak, namun Anaconda juga bisa menewaskan manusia. Meski kejadian sangat jarang .
Anaconda yang termasuk kelompok Eunectes, . adalah Anaconda yang berukuran besar, hidup di lingkungan berair dan banyak terdapat di Amerika Selatan. Contoh dari Anaconda yang termasuk kelompok ini, adalah :
§ Eunectes murinus ( Anaconda Hijau ), termasuk Anaconda Raksasa yang hidup di Pegunungan Andes di Negara Colombia, Venezuela, the Guianas, Ecuador, Peru, Bolivia, Brazil dan kepulauan Trinidad.
§ Sedangkan kelompok Eunectes notaeus ( Anaconda Kuning ), adalah jenis yang lebih kecil dan hidup di Bolivia, Brazil, Paraguay dan Argentina.
§ Kelompok Eunectes deschauenseei ( Anaconda Bercak Hitam pada kulitnya ). Adalah jenis Anaconda yang langka, namun sering kali ditemukan di Brasil dan Guyana.
Anaconda yang pernah ditemukan oleh manusia berukuran panjang 28 kaki ( ± 7 meter ) dan berdiameter 44 inchi. Meskipun saat penemuan tidak ditimbang berat Anaconda tersebut, namun para ahli berhasil menaksir beratnya, yaiutu sekitar lebih dari 500 lbs ( ± 2,5 kuintal ).
Sejarah Es Krim
Sebelum adanya sistem pendingin yang modern, es krim adalah makanan yang mewah dan hanya dihidangkan pada acara-acara yang spesial.
Dahulu, membuat es krim adalah hal yang sangat merepotkan. Untuk membuat es krim, Es didapatkan dari danau atau kolam yang membeku saat musim dingin, kemudian dipotong dan disimpan dalam tumpukan jerami, lubang di dalam tanah, atau tempat penyimpanan es yang terbuat dari kayu dan diberi jerami. Es disimpan untuk kemudian dipakai saat musim panas.
Saat musim panas. es krim kemudian dibuat secara tradisional dengan mengolah adonan didalam mangkuk besar yang ditaruh dalam sebuah tube yang diisi dengan campuran es yang telah dihancurkan dan garam, yang membuat adonan es krim itu membeku.
Dahulu, membuat es krim adalah hal yang sangat merepotkan. Untuk membuat es krim, Es didapatkan dari danau atau kolam yang membeku saat musim dingin, kemudian dipotong dan disimpan dalam tumpukan jerami, lubang di dalam tanah, atau tempat penyimpanan es yang terbuat dari kayu dan diberi jerami. Es disimpan untuk kemudian dipakai saat musim panas.
Saat musim panas. es krim kemudian dibuat secara tradisional dengan mengolah adonan didalam mangkuk besar yang ditaruh dalam sebuah tube yang diisi dengan campuran es yang telah dihancurkan dan garam, yang membuat adonan es krim itu membeku.
Sejarah Kertas
Kertas pertama kali diciptakan oleh bangsa Cina. Tsai Lun adalah orang yang menemukan kertas yang dibuat dari bahan bambu yang mudah didapatkan di Cina pada tahun 101 Masehi. Penemuan ini kemudian menyebar ke Jepang dan Korea seiring dengan menyebarnya bangsa Cina ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu, walaupun sebenarnya cara pembuatan kertas pada awalnya merupakan hal yang sangat dirahasiakan.
Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Para tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertas kepada orang-orang arab, sehingga kemudian muncullah industri-industri kertas disana.
Teknik pembuatan kertas kemudian juga menyebar ke Italia dan India lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan Spanyol dan ke seluruh dunia.
Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Para tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertas kepada orang-orang arab, sehingga kemudian muncullah industri-industri kertas disana.
Teknik pembuatan kertas kemudian juga menyebar ke Italia dan India lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan Spanyol dan ke seluruh dunia.
Sejarah Pensil
Penggunaan timbal dan grafit yang memberikan efek goresan abu-abu sudah dimulai sejak zaman Yunani.
Pada tahun 1564 ditemukan kandungan grafit murni dalam jumlah besar di Inggris bagian utara. Walaupun terlihat seperti batu bara, grafit tidak dapat terbakar, dan meninggalkan bekas berwarna hitam mengkilap serta mudah dihapus. Pada masa itu grafit masih disalahartikan dengan timah hitam dan plumbago. Karena itulah istilah lead pencil (pensil timah) masih digunakan sampai sekarang.
Karena berminyak, dahulu grafit dibungkus dengan kulit domba atau potongan kecil timah berbentuk tongkat dibungkus dengan tali.
Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pada awalnya memasukkan grafit ke dalam wadah kayu sehingga berbentuk pensil yang kita kenal sekarang ini. Namun, pada tahun 1560-an, pensil dengan bentuk yang primitif sudah ada di benua Eropa.
Grafit kemudian diekspor untuk para seniman, dan pada abad ke 17 bisa dikatakan grafit telah digunakan dimana-mana.
Para pembuat pensil melakukan percobaan dengan grafit untuk menciptakan alat tulis yang lebih baik.
Karena grafit menjadi hal yang begitu berharga dan menjadi incaran pencuri, pada tahun 1752 Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang menetapkan bahwa pencuri grafit bisa dipenjarakan.
Pada tahun 1789 nama grafit yang berasal dari bahasa Yunani graphein resmi diberikan, sehingga menghilangkan kebingungan antara grafit dengan timah hitam.
Dalam pembuatan pensil modern, grafit murni digunakan dengan cara dicampur dengan tanah liat.
Pada tahun 1564 ditemukan kandungan grafit murni dalam jumlah besar di Inggris bagian utara. Walaupun terlihat seperti batu bara, grafit tidak dapat terbakar, dan meninggalkan bekas berwarna hitam mengkilap serta mudah dihapus. Pada masa itu grafit masih disalahartikan dengan timah hitam dan plumbago. Karena itulah istilah lead pencil (pensil timah) masih digunakan sampai sekarang.
Karena berminyak, dahulu grafit dibungkus dengan kulit domba atau potongan kecil timah berbentuk tongkat dibungkus dengan tali.
Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pada awalnya memasukkan grafit ke dalam wadah kayu sehingga berbentuk pensil yang kita kenal sekarang ini. Namun, pada tahun 1560-an, pensil dengan bentuk yang primitif sudah ada di benua Eropa.
Grafit kemudian diekspor untuk para seniman, dan pada abad ke 17 bisa dikatakan grafit telah digunakan dimana-mana.
Para pembuat pensil melakukan percobaan dengan grafit untuk menciptakan alat tulis yang lebih baik.
Karena grafit menjadi hal yang begitu berharga dan menjadi incaran pencuri, pada tahun 1752 Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang menetapkan bahwa pencuri grafit bisa dipenjarakan.
Pada tahun 1789 nama grafit yang berasal dari bahasa Yunani graphein resmi diberikan, sehingga menghilangkan kebingungan antara grafit dengan timah hitam.
Dalam pembuatan pensil modern, grafit murni digunakan dengan cara dicampur dengan tanah liat.
Kartu Ucapan Aneh
Shasa melangkah menuju kelasnya di lantai dua dengan bersemangat. Hari masih pagi. Murid-murid sekolah dasar TUNAS belum banyak yang datang. Mendekati ruang kelasnya, tangannya meraba kantong kecil di bagian samping tas sekolahnya. Bibirnya tersenyum saat merasakan tonjolan kecil. Kado buat Nia yang sudah ia siapkan. Hmmm.. kira-kira bagaimana reaksi Nia bila menerimanya kelak ya?
“Naah.. Tuh, Shasa datang!”
Shasa yang baru saja masuk ke dalam kelas tertegun. Nia, Rara dan Fira tengah menatap kearahnya dari tempat duduk Nia.
“Kesini, Sha!” Panggil Rara yang pertama kali melihat kedatangannya.
Shasa mendekat dengan heran setelah terlebih dahulu meletakkan tasnya. “Ada apa?” tanyanya.
“Ada kerjaan buat kamu,” kali ini Fira buka suara.
“Kerjaan?” Shasa jadi semakin bingung mendengarnya. Kenapa teman-temannya jadi membicarakan tentang pekerjaan? Memangnya kelas empat SD sudah boleh bekerja?
“Tadi pagi Nia mendapati kartu ini di laci mejanya,” Fira menjelaskan sambil menyodorkan sebuah kartu.
Shasa membolak-balikkan kartu itu. Sebuah kartu berukuran seperempat buku tulis. Sepertinya bukan kartu yang banyak dijual di toko-toko melainkan dibuat sendiri dari karton berwarna Ungu. Warna kesukaan Nia. Di depannya terdapat bunga-bunga kecil terbuat dari pita lengkap dengan daunnya yang dilekatkan dengan lem. Di bagian belakangnya terdapat gambar babi kecil yang lucu dengan ekornya yang melingkar.
“Wooii.. Jangan dibolak-balik saja. Baca dong tulisan di dalamnya,” kata Rara dengan gemas. Rupanya ia tidak dapat menahan diri untuk tidak berkomentar melihat Shasa sejak tadi hanya membolak-balikkan kartu yang dipegangnya.
“Loh.. bilang dong dari tadi kalau aku harus membaca bagian dalamnya,” Shasa cekikikan. Rara cemberut. Shasa membuka kartu yang sejak tadi dipegangnya. Di bagian dalam kartu itu terdapat tulisan. Hurufnya kecil-kecil dan rapih.
nuhat gnalu tamales
kitnac habmat
aynnaritkart uggnutid
Shasa mengernyitkan kening. Ini bahasa apa ya? Pikir Shasa bingung. Bukan bahasa Inggris, bukan pula bahasa daerah. Hmmm.. bahasa yang aneh..
“Gimana, Sha?” tanya Rara.
“Apanya yang bagaimana?” Shasa balik bertanya.
“Ya ampun, Shasaaa…,” Rara berseru gemas. Bibirnya cemberut. Shasa tak dapat menahan cekikikannya.
“Maksud Rara, kamu mengerti tidak yang tertulis di kartu itu?” Fira buru-buru menengahi.
“Nggak,” Shasa menjawab polos. Matanya menatap satu persatu teman-temannya dengan pandangan tak bersalah.
“Katanya hobi baca buku misteri. Katanya ingin jadi detektif. Buktikan dong,” Rara mencibirkan bibirnya.
Shasa hanya tersenyum-senyum mendengar kata-kata Rara. “Oh.. jadi aku diminta memecahkan misteri kartu ucapan aneh ini,” Shasa mengangguk-anggukan kepala.
“Capek deehh..” Rara meletakkan sebelah tangannya di dahi. Nia dan Fira cekikikan melihatnya.
“Bagaimana sih ceritanya sampai kamu menemukan kartu ini?” tanya Shasa ingin tahu. Ditatapnya Nia dengan serius. Tanpa menunda-nunda, Nia segera menceritakan kisahnya.
Kalau mendengar cerita Nia, kartu ucapan itu memang misterius. Ketika tiba di kelas dan hendak memasukkan tas berisi baju olahraga ke dalam laci, Nia menemukan kartu itu. Tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada gambar babi kecil di bagian belakang amplop sama seperti yang ada dibagian belakang kartu.
Shasa memilin-milin rambutnya dengan jari tangannya. Kebiasaannya bila sedang berfikir. Hmmm.. benar-benar kartu ucapan yang misterius.
“Ketika aku tiba di kelas tadi pagi, baru Deden dan Oca yang sudah datang,” tambah Nia.
Shasa melemparkan pandangannya ke luar kelas. Dilihatnya kedua anak laki-laki yang namanya disebut oleh Nia sedang asyik bercengkerama di dekat pagar pembatas. Sepertinya tidak mungkin salah satu dari mereka yang menjadi pengirim kartu misterius. Keduanya bukan tipe yang peduli dengan ulang tahun teman mereka. Lagipula tulisan tangan mereka tidak mirip dengan tulisan yang ada di kartu.
“Nanti aku pikirkan deh, siapa tahu saat istirahat nanti aku mendapat wangsit. Lagipula sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi,” kata Shasa sambil melihat ke arah jam dinding yang ada di depan kelas. Mereka pun membubarkan diri dan menuju bangku masing-masing.
“Eh, kamu mau kemana?” tanya Rara ketika dilihatnya Shasa terburu-buru menuju pintu kelas saat bel istirahat berbunyi.
“Sebentar, aku mau ke ruang Tata Usaha dulu. Nanti aku segera kembali ke kelas,” Shasa menjawab sambil bergegas.
Aduh.. ramai sekali suasana saat istirahat. Shasa sampai harus berdesak-desakkan saat menuruni tangga. Selesai menyerahkan uang untuk membayar catering kepada petugas Tata Usaha, Shasa setengah berlari kembali menuju kelasnya. Mudah-mudahan nanti ia akan mendapatkan ide untuk memecahkan kata-kata misterius di kartu ucapan yang diterima Nia.
“Saking terburu-burunya, di ujung tangga Shasa nyaris bertabrakan dengan dua orang murid kelas tiga yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Kalau susu dibalik jadi apa, hayo?” salah seorang dari mereka bertanya
“Jadi usus,” jawab yang lainnya.
“Salah dong, yang benar itu susu dibalik jadi tumpah,” yang pertama bertanya menjelaskan.
Shasa tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Eh, nanti dulu.. apa tadi katanya? Dibalik?
Begitu tiba di kelas, Shasa segera mengambil kartu ucapan misterius yang sedang diperhatikan oleh Nia, Rara dan Fira. Dibawah tatapan heran teman-temannya, Shasa membaca kata-kata yang tertulis di kartu. Kalian penasaran bagaimana Shasa bisa membacanya? Coba deh dibalik. Naahh.. sudah bisa membacanya kan?
“Lantas siapa yang menulis kartu itu?” kejar Rara.
Belum juga Shasa menjawab, dari pintu kelas terdengar teriakan, “Niaaa.. Pulang sekolah traktir burger dong di kantin. Kamu ulang tahun kan hari ini?”
Seorang anak perempuan tersenyum lebar di pintu kelas. Rambutnya dikuncir dua. Ikat rambutnya berhiaskan boneka babi berwarna ungu. Tangannya membawa dompet kecil begambar babi dengan ekornya yang melingkar.
“Itu dia yang menulis kartu ucapan dengan gambar babi kecil,” Shasa menunjuk ke arah Ghina, sepupu Nia yang masih tersenyum.
Nia menepuk dahinya. “Kok aku tidak terfikir ke arah sana ya?” sesalnya. “Seharusnya aku ingat kalau Ghina itu mengoleksi pernak-pernik bergambar babi.”
“Hebat.. Shasa bisa memecahkan misteri kartu ucapan yang aneh,” puji Fira.
“Shasa gitu loh,” Shasa menjawab sambil mengedip-ngedipkan matanya.
“Huuu.. Narsis..!” ketiga temannya berseru serempak. Shasa tertawa-tawa. Diambilnya kado kecil yang sudah disiapkannya untuk Nia.
“Met ultah ya,” ucapnya sambil menyerahkan kado ke tangan Nia.
Buat kalian yang masih kesulitan membaca ucapan yang ada di kartu, yuk kita baca dari belakang ke depan.
selamat ulang tahun
tambah cantik
tambah pintar
ditunggu traktirannya
“Naah.. Tuh, Shasa datang!”
Shasa yang baru saja masuk ke dalam kelas tertegun. Nia, Rara dan Fira tengah menatap kearahnya dari tempat duduk Nia.
“Kesini, Sha!” Panggil Rara yang pertama kali melihat kedatangannya.
Shasa mendekat dengan heran setelah terlebih dahulu meletakkan tasnya. “Ada apa?” tanyanya.
“Ada kerjaan buat kamu,” kali ini Fira buka suara.
“Kerjaan?” Shasa jadi semakin bingung mendengarnya. Kenapa teman-temannya jadi membicarakan tentang pekerjaan? Memangnya kelas empat SD sudah boleh bekerja?
“Tadi pagi Nia mendapati kartu ini di laci mejanya,” Fira menjelaskan sambil menyodorkan sebuah kartu.
Shasa membolak-balikkan kartu itu. Sebuah kartu berukuran seperempat buku tulis. Sepertinya bukan kartu yang banyak dijual di toko-toko melainkan dibuat sendiri dari karton berwarna Ungu. Warna kesukaan Nia. Di depannya terdapat bunga-bunga kecil terbuat dari pita lengkap dengan daunnya yang dilekatkan dengan lem. Di bagian belakangnya terdapat gambar babi kecil yang lucu dengan ekornya yang melingkar.
“Wooii.. Jangan dibolak-balik saja. Baca dong tulisan di dalamnya,” kata Rara dengan gemas. Rupanya ia tidak dapat menahan diri untuk tidak berkomentar melihat Shasa sejak tadi hanya membolak-balikkan kartu yang dipegangnya.
“Loh.. bilang dong dari tadi kalau aku harus membaca bagian dalamnya,” Shasa cekikikan. Rara cemberut. Shasa membuka kartu yang sejak tadi dipegangnya. Di bagian dalam kartu itu terdapat tulisan. Hurufnya kecil-kecil dan rapih.
nuhat gnalu tamales
kitnac habmat
aynnaritkart uggnutid
Shasa mengernyitkan kening. Ini bahasa apa ya? Pikir Shasa bingung. Bukan bahasa Inggris, bukan pula bahasa daerah. Hmmm.. bahasa yang aneh..
“Gimana, Sha?” tanya Rara.
“Apanya yang bagaimana?” Shasa balik bertanya.
“Ya ampun, Shasaaa…,” Rara berseru gemas. Bibirnya cemberut. Shasa tak dapat menahan cekikikannya.
“Maksud Rara, kamu mengerti tidak yang tertulis di kartu itu?” Fira buru-buru menengahi.
“Nggak,” Shasa menjawab polos. Matanya menatap satu persatu teman-temannya dengan pandangan tak bersalah.
“Katanya hobi baca buku misteri. Katanya ingin jadi detektif. Buktikan dong,” Rara mencibirkan bibirnya.
Shasa hanya tersenyum-senyum mendengar kata-kata Rara. “Oh.. jadi aku diminta memecahkan misteri kartu ucapan aneh ini,” Shasa mengangguk-anggukan kepala.
“Capek deehh..” Rara meletakkan sebelah tangannya di dahi. Nia dan Fira cekikikan melihatnya.
“Bagaimana sih ceritanya sampai kamu menemukan kartu ini?” tanya Shasa ingin tahu. Ditatapnya Nia dengan serius. Tanpa menunda-nunda, Nia segera menceritakan kisahnya.
Kalau mendengar cerita Nia, kartu ucapan itu memang misterius. Ketika tiba di kelas dan hendak memasukkan tas berisi baju olahraga ke dalam laci, Nia menemukan kartu itu. Tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada gambar babi kecil di bagian belakang amplop sama seperti yang ada dibagian belakang kartu.
Shasa memilin-milin rambutnya dengan jari tangannya. Kebiasaannya bila sedang berfikir. Hmmm.. benar-benar kartu ucapan yang misterius.
“Ketika aku tiba di kelas tadi pagi, baru Deden dan Oca yang sudah datang,” tambah Nia.
Shasa melemparkan pandangannya ke luar kelas. Dilihatnya kedua anak laki-laki yang namanya disebut oleh Nia sedang asyik bercengkerama di dekat pagar pembatas. Sepertinya tidak mungkin salah satu dari mereka yang menjadi pengirim kartu misterius. Keduanya bukan tipe yang peduli dengan ulang tahun teman mereka. Lagipula tulisan tangan mereka tidak mirip dengan tulisan yang ada di kartu.
“Nanti aku pikirkan deh, siapa tahu saat istirahat nanti aku mendapat wangsit. Lagipula sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi,” kata Shasa sambil melihat ke arah jam dinding yang ada di depan kelas. Mereka pun membubarkan diri dan menuju bangku masing-masing.
“Eh, kamu mau kemana?” tanya Rara ketika dilihatnya Shasa terburu-buru menuju pintu kelas saat bel istirahat berbunyi.
“Sebentar, aku mau ke ruang Tata Usaha dulu. Nanti aku segera kembali ke kelas,” Shasa menjawab sambil bergegas.
Aduh.. ramai sekali suasana saat istirahat. Shasa sampai harus berdesak-desakkan saat menuruni tangga. Selesai menyerahkan uang untuk membayar catering kepada petugas Tata Usaha, Shasa setengah berlari kembali menuju kelasnya. Mudah-mudahan nanti ia akan mendapatkan ide untuk memecahkan kata-kata misterius di kartu ucapan yang diterima Nia.
“Saking terburu-burunya, di ujung tangga Shasa nyaris bertabrakan dengan dua orang murid kelas tiga yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Kalau susu dibalik jadi apa, hayo?” salah seorang dari mereka bertanya
“Jadi usus,” jawab yang lainnya.
“Salah dong, yang benar itu susu dibalik jadi tumpah,” yang pertama bertanya menjelaskan.
Shasa tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Eh, nanti dulu.. apa tadi katanya? Dibalik?
Begitu tiba di kelas, Shasa segera mengambil kartu ucapan misterius yang sedang diperhatikan oleh Nia, Rara dan Fira. Dibawah tatapan heran teman-temannya, Shasa membaca kata-kata yang tertulis di kartu. Kalian penasaran bagaimana Shasa bisa membacanya? Coba deh dibalik. Naahh.. sudah bisa membacanya kan?
“Lantas siapa yang menulis kartu itu?” kejar Rara.
Belum juga Shasa menjawab, dari pintu kelas terdengar teriakan, “Niaaa.. Pulang sekolah traktir burger dong di kantin. Kamu ulang tahun kan hari ini?”
Seorang anak perempuan tersenyum lebar di pintu kelas. Rambutnya dikuncir dua. Ikat rambutnya berhiaskan boneka babi berwarna ungu. Tangannya membawa dompet kecil begambar babi dengan ekornya yang melingkar.
“Itu dia yang menulis kartu ucapan dengan gambar babi kecil,” Shasa menunjuk ke arah Ghina, sepupu Nia yang masih tersenyum.
Nia menepuk dahinya. “Kok aku tidak terfikir ke arah sana ya?” sesalnya. “Seharusnya aku ingat kalau Ghina itu mengoleksi pernak-pernik bergambar babi.”
“Hebat.. Shasa bisa memecahkan misteri kartu ucapan yang aneh,” puji Fira.
“Shasa gitu loh,” Shasa menjawab sambil mengedip-ngedipkan matanya.
“Huuu.. Narsis..!” ketiga temannya berseru serempak. Shasa tertawa-tawa. Diambilnya kado kecil yang sudah disiapkannya untuk Nia.
“Met ultah ya,” ucapnya sambil menyerahkan kado ke tangan Nia.
Buat kalian yang masih kesulitan membaca ucapan yang ada di kartu, yuk kita baca dari belakang ke depan.
selamat ulang tahun
tambah cantik
tambah pintar
ditunggu traktirannya
Perawat Dadakan
Shasa duduk bersila di ujung tempat tidurnya. Wajahnya terlihat serius. Tangan kanannya bergerak-gerak diatas selembar kertas putih yang ada di atas alas kayu. Tak lama kemudian tangannya berhenti bergerak. Dipandanginya wajah yang tergambar di kertas.
“Kok tidak mirip dengan mama, ya?” gumamnya. Diambilnya karet penghapus kemudian dihapusnya beberapa bagian dari gambar itu. Pinsil di tangannya kembali bergerak-gerak berusaha menyempurnakan gambarnya.
“Hoeekk.. Hoeekk..”
Shasa mengangkat kepalanya. Suara apa itu?
“Hoeekk.. Hoeekk..”
Suara itu kembali terdengar. Sepertinya itu suara orang sedang muntah. Arahnya dari kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan kamar Shasa. Disingkirkannya kertas dihadapannya. Bergegas Shasa keluar dari kamar. Sore ini hanya ada mama dan dirinya di rumah. Papa belum pulang dari kantor. Berarti yang sedang muntah-muntah di kamar mandi itu.. Mama!
“Maaa..” Shasa mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Dengan cemas, Shasa mengulangi ketukannya dengan lebih keras
“Mamaaaa…” tanpa sadar Shasa setengah menjerit. Rasa takut melanda hatinya. Aduhh.. kenapa mama tidak menjawab panggilannya? Diputarnya pegangan pintu kamar mandi. Terkunci! Aduhh.. Bagaimana ini? Bagaimana kalau mama pingsan?
“Mamaaaa..” Kali ini Shasa benar-benar menjerit. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Shasa benar-benar ketakutan. Digedor-gedornya pintu kamar mandi. Airmatanya sudah hampir menetes ketika pintu kamar mandi itu akhirnya terbuka. Mama berdiri disana dengan wajah pucat dan basah.
“M..a.. Ma.. Mama kenapa?” Shasa bertanya terbata-bata. Mama tidak menjawab, hanya memegangi perutnya. “Maag mama kambuh ya?” tanya Shasa lagi teringat kalau mamanya punya penyakit maag. Kadang-kadang kalau penyakit maag mama kambuh, mama suka muntah-muntah.
Mama melangkah keluar dari kamar mandi. Shasa meraih tangan mama. Duuhh… tangan mama kok dingin sekali? Dituntunnya mama ke kamar.
“Mama pusing ya?” tanyanya. Mama menganggukkan kepalanya kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Dengan sigap Shasa menarik selimut yang ada di ujung tempat tidur mama. Diselimutinya tubuh mama kemudian Shasa tertegun. Setelah diselimuti kemudian harus bagaimana?
Otaknya berputar cepat. Oiyaaa.. Minyak kayu putih dan obat maag! Shasa melompat dari tempat tidur mama. Setengah berlari ia menuju tempat obat. Dibawanya minyak kayu putih dan obat maag ke kamar mama. Tak lupa segelas air hangat.
“Ma, minum obat maag dulu ya?” katanya. Dilihatnya mama membuka matanya.
“Nanti saja,” jawab mama lemah.
Bagaimana mama ini. Kalau Shasa sakit, Shasa harus minum obat tapi kalau mama yang sakit kenapa minum obatnya nanti saja? tanya Shasa dalam hati.
“Kalau begitu, perutnya dibalurin minyak kayu putih saja, ya, Ma?” Kata Shasa menirukan gaya mama kalau sedang membujuk dirinya.
“Nanti saja,” jawab mama lagi.
Uhhh.. Minum obat, nanti saja, minyak kayu putih, nanti saja, bagaimana sih mama ini? Gerutu Shasa. Tentu saja Shasa cuma berani menggerutu dalam hati.
“Lehernya saja yang dibalurkan minyak kayu putih. Mau ya, Ma?” Shasa masih berusaha membujuk.
Untungnya kali ini mama menganggukkan kepalanya. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, Shasa membalurkan minyak kayu putih ke leher mama.
“Mama mau minum teh hangat?” tawarnya.
Mama membuka matanya dan menatap Shasa heran. “Memangnya Shasa bisa membuatkan teh?”
“Bisa dong,” jawab Shasa cepat. Masa’ membuat teh manis hangat saja tidak bisa sih, kata Shasa dalam hati.
Bergegas Shasa menuju dapur. Sesampainya di dapur, langkahnya terhenti. Mama menyimpan teh dan gula di lemari yang ada di bagian atas. Bagaimana Shasa bisa membuka lemari yang tinggi itu?
Shasa menjentikkan jarinya. Ditariknya kursi dari ruang makan. Dengan hati-hati, Shasa naik ke atas kursi. Diturunkannya kotak teh dan toples tempat menyimpan gula. Diambilnya cangkir lengkap dengan piring alasnya. Dengan hati-hati, Shasa menekan tombol dispenser. Lohh.. kok air panasnya tidak bisa keluar?
Shasa memperhatikan tombol dispenser itu. Ooo.. baru Shasa ingat kalau tombol air panas itu ada kuncinya. Jadi kuncinya harus dibuka dulu baru air panasnya bisa keluar. Nahh.. sekarang sudah beres. Setelah itu, dituangkannya satu sendok kecil gula. Dengan hati-hati diaduknya teh hangat buatannya dan dibawanya ke kamar.
“Ini, Ma, tehnya diminum dulu,” kata Shasa.
Dilihatnya mama menatap tidak percaya ke cangkir yang dibawa Shasa.
“Aduhh.. anak mama pintar sekali,” puji mama. Shasa tersenyum bangga. Shasa gitu loh, katanya dalam hati.
Mama menyeruput tehnya. Kelihatan nikmat sekali. “Enak loh, teh buatan Shasa,” puji mama lagi.
Pintu kamar terbuka. Papa berdiri disana. Heran melihat mama yang sedang minum teh hangat di tempat tidur, gelas berisi air, minyak kayu putih dan obat maag yang ada di meja kecil disisi tempat tidur.
“Ada apa ini?” tanya papa.
“Mama sakit, Pa,” lapor Shasa. Diceritakannya kejadian tadi. Mama melengkapi ceritanya sambil tersenyum simpul.
“Hebat dong anak papa,” puji papa setelah Shasa selesai bercerita. “Sudah bisa merawat mama.”
“Kita bawa mama ke dokter saja yuk, Pa,” usul Shasa. “Nanti kan bisa dikasih obat sama dokter.”
“Mama bukan sedang sakit maag kok,” papa menenangkan sambil tersenyum.
“Lohh.. kok tadi muntah-muntah?” tanya Shasa heran.
“Mama muntah-muntah bukan karena sakit maag tapi karena sebentar lagi Shasa akan punya adik.”
Kedua mata Shasa terbelalak. “HAH?! Punya adik?! Maksud papa.. mama sedang.. hamil?”
Papa tersenyum lebar. Diciumnya pipi Shasa. “Iya, di perut mama ada adik Shasa.”
Shasa hanya bisa menatap papa sambil bengong. Punya adik?!
“Kok tidak mirip dengan mama, ya?” gumamnya. Diambilnya karet penghapus kemudian dihapusnya beberapa bagian dari gambar itu. Pinsil di tangannya kembali bergerak-gerak berusaha menyempurnakan gambarnya.
“Hoeekk.. Hoeekk..”
Shasa mengangkat kepalanya. Suara apa itu?
“Hoeekk.. Hoeekk..”
Suara itu kembali terdengar. Sepertinya itu suara orang sedang muntah. Arahnya dari kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan kamar Shasa. Disingkirkannya kertas dihadapannya. Bergegas Shasa keluar dari kamar. Sore ini hanya ada mama dan dirinya di rumah. Papa belum pulang dari kantor. Berarti yang sedang muntah-muntah di kamar mandi itu.. Mama!
“Maaa..” Shasa mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Dengan cemas, Shasa mengulangi ketukannya dengan lebih keras
“Mamaaaa…” tanpa sadar Shasa setengah menjerit. Rasa takut melanda hatinya. Aduhh.. kenapa mama tidak menjawab panggilannya? Diputarnya pegangan pintu kamar mandi. Terkunci! Aduhh.. Bagaimana ini? Bagaimana kalau mama pingsan?
“Mamaaaa..” Kali ini Shasa benar-benar menjerit. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Shasa benar-benar ketakutan. Digedor-gedornya pintu kamar mandi. Airmatanya sudah hampir menetes ketika pintu kamar mandi itu akhirnya terbuka. Mama berdiri disana dengan wajah pucat dan basah.
“M..a.. Ma.. Mama kenapa?” Shasa bertanya terbata-bata. Mama tidak menjawab, hanya memegangi perutnya. “Maag mama kambuh ya?” tanya Shasa lagi teringat kalau mamanya punya penyakit maag. Kadang-kadang kalau penyakit maag mama kambuh, mama suka muntah-muntah.
Mama melangkah keluar dari kamar mandi. Shasa meraih tangan mama. Duuhh… tangan mama kok dingin sekali? Dituntunnya mama ke kamar.
“Mama pusing ya?” tanyanya. Mama menganggukkan kepalanya kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Dengan sigap Shasa menarik selimut yang ada di ujung tempat tidur mama. Diselimutinya tubuh mama kemudian Shasa tertegun. Setelah diselimuti kemudian harus bagaimana?
Otaknya berputar cepat. Oiyaaa.. Minyak kayu putih dan obat maag! Shasa melompat dari tempat tidur mama. Setengah berlari ia menuju tempat obat. Dibawanya minyak kayu putih dan obat maag ke kamar mama. Tak lupa segelas air hangat.
“Ma, minum obat maag dulu ya?” katanya. Dilihatnya mama membuka matanya.
“Nanti saja,” jawab mama lemah.
Bagaimana mama ini. Kalau Shasa sakit, Shasa harus minum obat tapi kalau mama yang sakit kenapa minum obatnya nanti saja? tanya Shasa dalam hati.
“Kalau begitu, perutnya dibalurin minyak kayu putih saja, ya, Ma?” Kata Shasa menirukan gaya mama kalau sedang membujuk dirinya.
“Nanti saja,” jawab mama lagi.
Uhhh.. Minum obat, nanti saja, minyak kayu putih, nanti saja, bagaimana sih mama ini? Gerutu Shasa. Tentu saja Shasa cuma berani menggerutu dalam hati.
“Lehernya saja yang dibalurkan minyak kayu putih. Mau ya, Ma?” Shasa masih berusaha membujuk.
Untungnya kali ini mama menganggukkan kepalanya. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, Shasa membalurkan minyak kayu putih ke leher mama.
“Mama mau minum teh hangat?” tawarnya.
Mama membuka matanya dan menatap Shasa heran. “Memangnya Shasa bisa membuatkan teh?”
“Bisa dong,” jawab Shasa cepat. Masa’ membuat teh manis hangat saja tidak bisa sih, kata Shasa dalam hati.
Bergegas Shasa menuju dapur. Sesampainya di dapur, langkahnya terhenti. Mama menyimpan teh dan gula di lemari yang ada di bagian atas. Bagaimana Shasa bisa membuka lemari yang tinggi itu?
Shasa menjentikkan jarinya. Ditariknya kursi dari ruang makan. Dengan hati-hati, Shasa naik ke atas kursi. Diturunkannya kotak teh dan toples tempat menyimpan gula. Diambilnya cangkir lengkap dengan piring alasnya. Dengan hati-hati, Shasa menekan tombol dispenser. Lohh.. kok air panasnya tidak bisa keluar?
Shasa memperhatikan tombol dispenser itu. Ooo.. baru Shasa ingat kalau tombol air panas itu ada kuncinya. Jadi kuncinya harus dibuka dulu baru air panasnya bisa keluar. Nahh.. sekarang sudah beres. Setelah itu, dituangkannya satu sendok kecil gula. Dengan hati-hati diaduknya teh hangat buatannya dan dibawanya ke kamar.
“Ini, Ma, tehnya diminum dulu,” kata Shasa.
Dilihatnya mama menatap tidak percaya ke cangkir yang dibawa Shasa.
“Aduhh.. anak mama pintar sekali,” puji mama. Shasa tersenyum bangga. Shasa gitu loh, katanya dalam hati.
Mama menyeruput tehnya. Kelihatan nikmat sekali. “Enak loh, teh buatan Shasa,” puji mama lagi.
Pintu kamar terbuka. Papa berdiri disana. Heran melihat mama yang sedang minum teh hangat di tempat tidur, gelas berisi air, minyak kayu putih dan obat maag yang ada di meja kecil disisi tempat tidur.
“Ada apa ini?” tanya papa.
“Mama sakit, Pa,” lapor Shasa. Diceritakannya kejadian tadi. Mama melengkapi ceritanya sambil tersenyum simpul.
“Hebat dong anak papa,” puji papa setelah Shasa selesai bercerita. “Sudah bisa merawat mama.”
“Kita bawa mama ke dokter saja yuk, Pa,” usul Shasa. “Nanti kan bisa dikasih obat sama dokter.”
“Mama bukan sedang sakit maag kok,” papa menenangkan sambil tersenyum.
“Lohh.. kok tadi muntah-muntah?” tanya Shasa heran.
“Mama muntah-muntah bukan karena sakit maag tapi karena sebentar lagi Shasa akan punya adik.”
Kedua mata Shasa terbelalak. “HAH?! Punya adik?! Maksud papa.. mama sedang.. hamil?”
Papa tersenyum lebar. Diciumnya pipi Shasa. “Iya, di perut mama ada adik Shasa.”
Shasa hanya bisa menatap papa sambil bengong. Punya adik?!
Perjalanan Antar Waktu
BRAKKK !
Benturan yang keras membuatku pingsan. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sepasang tangan yang kuat dan kasar membangunkanku.
“ Hai, bangun gembel! Jangan tidur disini! “
Aku kaget. Ketika kubuka mataku, di depanku kulihat seorang laki-laki kekar dengan wajah beringas.
“ Bapak si…sia…pa ?”tanyaku terbata-bata. Aku ketakutan.
“ Ha…ha…ha! Jangan berlagak pilon.Pura-pura bodoh! Bukankah aku bosmu? “
‘” Bos apa? Saya sama sekali tidak mengerti.”
“ Dasar bego! Cepat berikan seluruh hasil mengemismu hari ini?!”
Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud bapak tadi. Mengemis? Aku pengemis? Tidak mungkin. Ayahku pengusaha terkaya di kotaku.
“Ayo,cepat! Kalau kamu tidak menyerahkan penghasilanmu hari ini, aku akan mengurungmu di ruang bawah tanah.”
Dengan menggigil ketakutan ,kukorek-korek seluruh isi saku celanaku.
Heran! Biasanya banyak uang di dalam sakuku. Namun, kali ini seratus rupiahpun tidak kutemukan. Aku kebingungan.
“Maaf, Pak! Aku tidak membawa uang. Tapi, kalau Bapak ingin meminta uang mintalah pada Ayahku. Beliau pengusaha kaya di kota ini. Tapi, tolong bebaskan saya!”
“Ha..ha…ha ! “ laki –laki itu tertawa semakin keras.
“Jangan membodohi aku. Pengemis seperti kamu tidak mungin berasal dari keluarga yang kaya . Bohong! “laki-laki itu terus saja marah –marah. Dengan tubuhnya yang kekar ia menyeretku.
Sampailah aku di ruang bawah tanah. Gelap, pengap dan lembab. Rasanya aku tidak asing dengan ruangan ini. Aku ingat sekarang! Bukankah ini gudang tempat aku biasa berkumpul dengan gengku? Mana Odi? Mana Theo? Ian?Aku ingat tadi siang aku bermain dengan mereka.
Ya, ya aku ingat! Aku tadi merencanakan ide hebat bersama teman-temanku. Kami sepakat akan menggasak rambutan yang ada di pohon Pak Sukri. Kami juga berencana akan mengempesi sepeda Pak Guru. Tapi mengapa aku sendirian? Mana yang lain?
Sepi rasanya tanpa kehadiran sahabat-sahabatku. Kami adalah tim yang kompak. Di sekolah kami ditakuti teman-teman. Mereka tidak berani menegur kami bila kami berbuat iseng kepada mereka. Kami adalah jagoan. Bagi kami, dihukum karena tidak membuat PR hal yang biasa. Dimarahi Pak guru? Cuek aja. Nilai ulangan jelek? Tidak masalah.Toh, orang tua kami kaya. Buat apa bersusah payah sekolah?
Aku heran dengan keadaan ini. Ketika aku sedang bingung, tanpa sengaja kulihat sebuah cermin tergantung di tembok. Perlahan kudekati. Aku ingin melihat luka bekas tamparan di wajahku.
“ Ahhhhh! “Aku menjerit sekuat-kuatnya. Wajah siapakah yang ada di cermin tadi? Dekil, kumal , kotor dan beringas.
Sekali lagi kupandang cermin itu. Yang kulihat wajah yang sama. Dengan perasaan takut kuamati wajah dalam cermin. Seperti wajahku tetapi lebih tua. Mungkin berumur 30 tahun. Kuusap daguku, bayangan dalam cerminpun melakukan hal yang sama. Kuusap rambutku, kuucek mataku. Ya,Tuhan! Itu aku! Bagaimana mungkin aku setua itu? Umurku baru 10 tahun. Aku tadi pagi masih sekolah. Siang hari aku bermain dengan teman-temanku. Apa yang terjadi?
Aku mulai panik. Aku berteriak. Pintu kugedor-gedor.
“Tolong! Tolong! Bukakan pintu!! “ Brak! Brak! Brak! Dengan sekuat tenaga kugedor-gedor pintu. Tidak ada orang yang mendengarku. Tanganku sampai memerah. Aku lelah. Aku menangis. Putus asa.
Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Seorang laki-laki berwajah bersih menghampiriku.
“ Kamu siapa? “ tanyaku sambil mengingat, sepertinya aku kenal dia.
“ Rino, apakah kamu tidak mengenalku? “ katanya sambil menyodorkan minuman.
“Aku Dio.”
Dio. Aku ingat sekarang. Dialah yang paling sering menjadi korban keisenganku.
“ Dio, aku malu. Aku jahat kepadamu tetapi engkau baik kepadaku.”
“ Rino, kita sekarang sudah dewasa. Bukan kanak-kanak lagi. Umur ku sekarang 35 tahun “
“ Tidak mungkin. Kemarin aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke sepuluh. Kamu bohong! “
“ Tidak ,Rino! Itu sudah dua puluh lima tahun yang lalu. “
Aku menggelengkan kepala. Benar-benar pusing. Kemudian Dio mengajakku ke luar dan mendudukkan aku di kursi.
“ Lihat kalender itu! “ Dio menunjukkan kepadaku sebuah kalender dan membuat aku terlonjak! Tahun 2034. Bagaimana mungkin aku bisa melompati waku 25 tahun. Tadi siang tahun 2009 dan sekarang 2034 ?
Kemudian Dio memberiku surat kabar. Ya, tahun 2034! Televisi yang menyiarkan berita pun menyatakan hal yang sama.
“ Dio, bisakah kau menceritakan hal yang terjadi?”
“ Ya, kamu terlempar ke masa depan. Inilah hidupmu. Lihat keadaanmu! “
“Aku jadi pengemis, padahal orang tuaku sangat kaya. Dimana mereka? Bagaimana nasib ayah dan ibuku? “
“ Orang tuamu masih hidup. Mereka jatuh miskin dan sakit-sakitan.”
“Mengapa? “
“Bacalah kisah ini!”
Kubaca majalah yang disodorkan Dio. Di majalah itu dikisahkan riwayat seorang pengusaha kaya yang jatuh miskin karena ulah anaknya. Rupanya ketika berusia 25 tahun aku diminta ayahku untuk memimpin perusahaan. Ayahku sudah tua, ibu sakit-sakitan. Aku anak tunggal. Aku tumpuan hidup satu-satunya.
Dengan setengah hati aku menerima tugas dari ayahku. Namun karena aku bodoh perusahaan yang kupimpin bangkrut. Aku malas bekerja. Hidupku hanya untuk berfoya-foya. Kemudian ayahku jatuh miskin.
Aku menyesal dan malu. Aku lari dari rumah. Karena tidak memiliki kepandaian dan ketrampilan akhirnya tidak ada orang yang menerimaku bekerja. Akhirnya aku menjadi pengemis.
Inikah hidupku? Tidak! Aku tidak mau seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Aku tahu. Aku harus kembali ke tahun 2009. Aku harus merubah hidupku.
Aku ingat sesuatu! Aku segera lari ke gudang bawah tanah. Cermin! Ya,aku harus ke cermin. Cermin itulah yang menyedotku ketika aku di gudang tadi siang. Cermin itu yang melontarkanku ke tahun 2034. Bersyukurlah aku cermin itu masih ada.
Segera kudekati. Kedua telapak tanganku kuletakkan di atasnya. Aku berdoa kepada Tuhan .Mohon ampun atas kenakalan yang kulakukan. Aku juga berjanji akan memperbaiki hidupku. Aku akan rajin belajar dan patuh pada nasehat orang tuaku. Aku juga akan menjadi anak yang baik.
Selesai aku berdoa, aku merasakan kekuatan yang dasyat menarikku. Memutar-mutar tubuhku, melewati lorong yang sangat panjang. Dan..Brak! Aku terlontar dan jatuh di belakang rumahku.
“ Rino,kamu kemana saja? Dari tadi aku mencarimu! “ Odi menanyaiku.
“Tidur di gudang “ kataku . Aku senang telah kembali ke masa kanak-kanakku.
Aku segera berlari .” Rino, tunggu, mau kemana?”
“ Ke rumah Dio. Aku mau berterimakasih kepadanya.”
“ Buat apa menemui anak bloon itu? “
“ Ceritanya panjang kamu pasti tidak percaya.”
Odi terus mengejarku,” Rencana kita jadi kan malam ini? Itu pesta rambutan dari pohon Pak Sukri?”
“ Batal!”
“ Nggembosin sepeda Pak Udin?’
“ Batal! “
Aku terus berlari. Aku mengejar waktu. Banyak hal yang harus kulakukan hari ini. Yang pasti mulai sekarang tidak akan kusia-siakan hidupku. Hidup dan waktuku adalah untuk belajar, berbuat baik dan menyengangkan orang tuaku dengan prestasi dan perbuatanku. Mampukah aku? Doakan aku ya, teman-teman!
Benturan yang keras membuatku pingsan. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sepasang tangan yang kuat dan kasar membangunkanku.
“ Hai, bangun gembel! Jangan tidur disini! “
Aku kaget. Ketika kubuka mataku, di depanku kulihat seorang laki-laki kekar dengan wajah beringas.
“ Bapak si…sia…pa ?”tanyaku terbata-bata. Aku ketakutan.
“ Ha…ha…ha! Jangan berlagak pilon.Pura-pura bodoh! Bukankah aku bosmu? “
‘” Bos apa? Saya sama sekali tidak mengerti.”
“ Dasar bego! Cepat berikan seluruh hasil mengemismu hari ini?!”
Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud bapak tadi. Mengemis? Aku pengemis? Tidak mungkin. Ayahku pengusaha terkaya di kotaku.
“Ayo,cepat! Kalau kamu tidak menyerahkan penghasilanmu hari ini, aku akan mengurungmu di ruang bawah tanah.”
Dengan menggigil ketakutan ,kukorek-korek seluruh isi saku celanaku.
Heran! Biasanya banyak uang di dalam sakuku. Namun, kali ini seratus rupiahpun tidak kutemukan. Aku kebingungan.
“Maaf, Pak! Aku tidak membawa uang. Tapi, kalau Bapak ingin meminta uang mintalah pada Ayahku. Beliau pengusaha kaya di kota ini. Tapi, tolong bebaskan saya!”
“Ha..ha…ha ! “ laki –laki itu tertawa semakin keras.
“Jangan membodohi aku. Pengemis seperti kamu tidak mungin berasal dari keluarga yang kaya . Bohong! “laki-laki itu terus saja marah –marah. Dengan tubuhnya yang kekar ia menyeretku.
Sampailah aku di ruang bawah tanah. Gelap, pengap dan lembab. Rasanya aku tidak asing dengan ruangan ini. Aku ingat sekarang! Bukankah ini gudang tempat aku biasa berkumpul dengan gengku? Mana Odi? Mana Theo? Ian?Aku ingat tadi siang aku bermain dengan mereka.
Ya, ya aku ingat! Aku tadi merencanakan ide hebat bersama teman-temanku. Kami sepakat akan menggasak rambutan yang ada di pohon Pak Sukri. Kami juga berencana akan mengempesi sepeda Pak Guru. Tapi mengapa aku sendirian? Mana yang lain?
Sepi rasanya tanpa kehadiran sahabat-sahabatku. Kami adalah tim yang kompak. Di sekolah kami ditakuti teman-teman. Mereka tidak berani menegur kami bila kami berbuat iseng kepada mereka. Kami adalah jagoan. Bagi kami, dihukum karena tidak membuat PR hal yang biasa. Dimarahi Pak guru? Cuek aja. Nilai ulangan jelek? Tidak masalah.Toh, orang tua kami kaya. Buat apa bersusah payah sekolah?
Aku heran dengan keadaan ini. Ketika aku sedang bingung, tanpa sengaja kulihat sebuah cermin tergantung di tembok. Perlahan kudekati. Aku ingin melihat luka bekas tamparan di wajahku.
“ Ahhhhh! “Aku menjerit sekuat-kuatnya. Wajah siapakah yang ada di cermin tadi? Dekil, kumal , kotor dan beringas.
Sekali lagi kupandang cermin itu. Yang kulihat wajah yang sama. Dengan perasaan takut kuamati wajah dalam cermin. Seperti wajahku tetapi lebih tua. Mungkin berumur 30 tahun. Kuusap daguku, bayangan dalam cerminpun melakukan hal yang sama. Kuusap rambutku, kuucek mataku. Ya,Tuhan! Itu aku! Bagaimana mungkin aku setua itu? Umurku baru 10 tahun. Aku tadi pagi masih sekolah. Siang hari aku bermain dengan teman-temanku. Apa yang terjadi?
Aku mulai panik. Aku berteriak. Pintu kugedor-gedor.
“Tolong! Tolong! Bukakan pintu!! “ Brak! Brak! Brak! Dengan sekuat tenaga kugedor-gedor pintu. Tidak ada orang yang mendengarku. Tanganku sampai memerah. Aku lelah. Aku menangis. Putus asa.
Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Seorang laki-laki berwajah bersih menghampiriku.
“ Kamu siapa? “ tanyaku sambil mengingat, sepertinya aku kenal dia.
“ Rino, apakah kamu tidak mengenalku? “ katanya sambil menyodorkan minuman.
“Aku Dio.”
Dio. Aku ingat sekarang. Dialah yang paling sering menjadi korban keisenganku.
“ Dio, aku malu. Aku jahat kepadamu tetapi engkau baik kepadaku.”
“ Rino, kita sekarang sudah dewasa. Bukan kanak-kanak lagi. Umur ku sekarang 35 tahun “
“ Tidak mungkin. Kemarin aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke sepuluh. Kamu bohong! “
“ Tidak ,Rino! Itu sudah dua puluh lima tahun yang lalu. “
Aku menggelengkan kepala. Benar-benar pusing. Kemudian Dio mengajakku ke luar dan mendudukkan aku di kursi.
“ Lihat kalender itu! “ Dio menunjukkan kepadaku sebuah kalender dan membuat aku terlonjak! Tahun 2034. Bagaimana mungkin aku bisa melompati waku 25 tahun. Tadi siang tahun 2009 dan sekarang 2034 ?
Kemudian Dio memberiku surat kabar. Ya, tahun 2034! Televisi yang menyiarkan berita pun menyatakan hal yang sama.
“ Dio, bisakah kau menceritakan hal yang terjadi?”
“ Ya, kamu terlempar ke masa depan. Inilah hidupmu. Lihat keadaanmu! “
“Aku jadi pengemis, padahal orang tuaku sangat kaya. Dimana mereka? Bagaimana nasib ayah dan ibuku? “
“ Orang tuamu masih hidup. Mereka jatuh miskin dan sakit-sakitan.”
“Mengapa? “
“Bacalah kisah ini!”
Kubaca majalah yang disodorkan Dio. Di majalah itu dikisahkan riwayat seorang pengusaha kaya yang jatuh miskin karena ulah anaknya. Rupanya ketika berusia 25 tahun aku diminta ayahku untuk memimpin perusahaan. Ayahku sudah tua, ibu sakit-sakitan. Aku anak tunggal. Aku tumpuan hidup satu-satunya.
Dengan setengah hati aku menerima tugas dari ayahku. Namun karena aku bodoh perusahaan yang kupimpin bangkrut. Aku malas bekerja. Hidupku hanya untuk berfoya-foya. Kemudian ayahku jatuh miskin.
Aku menyesal dan malu. Aku lari dari rumah. Karena tidak memiliki kepandaian dan ketrampilan akhirnya tidak ada orang yang menerimaku bekerja. Akhirnya aku menjadi pengemis.
Inikah hidupku? Tidak! Aku tidak mau seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Aku tahu. Aku harus kembali ke tahun 2009. Aku harus merubah hidupku.
Aku ingat sesuatu! Aku segera lari ke gudang bawah tanah. Cermin! Ya,aku harus ke cermin. Cermin itulah yang menyedotku ketika aku di gudang tadi siang. Cermin itu yang melontarkanku ke tahun 2034. Bersyukurlah aku cermin itu masih ada.
Segera kudekati. Kedua telapak tanganku kuletakkan di atasnya. Aku berdoa kepada Tuhan .Mohon ampun atas kenakalan yang kulakukan. Aku juga berjanji akan memperbaiki hidupku. Aku akan rajin belajar dan patuh pada nasehat orang tuaku. Aku juga akan menjadi anak yang baik.
Selesai aku berdoa, aku merasakan kekuatan yang dasyat menarikku. Memutar-mutar tubuhku, melewati lorong yang sangat panjang. Dan..Brak! Aku terlontar dan jatuh di belakang rumahku.
“ Rino,kamu kemana saja? Dari tadi aku mencarimu! “ Odi menanyaiku.
“Tidur di gudang “ kataku . Aku senang telah kembali ke masa kanak-kanakku.
Aku segera berlari .” Rino, tunggu, mau kemana?”
“ Ke rumah Dio. Aku mau berterimakasih kepadanya.”
“ Buat apa menemui anak bloon itu? “
“ Ceritanya panjang kamu pasti tidak percaya.”
Odi terus mengejarku,” Rencana kita jadi kan malam ini? Itu pesta rambutan dari pohon Pak Sukri?”
“ Batal!”
“ Nggembosin sepeda Pak Udin?’
“ Batal! “
Aku terus berlari. Aku mengejar waktu. Banyak hal yang harus kulakukan hari ini. Yang pasti mulai sekarang tidak akan kusia-siakan hidupku. Hidup dan waktuku adalah untuk belajar, berbuat baik dan menyengangkan orang tuaku dengan prestasi dan perbuatanku. Mampukah aku? Doakan aku ya, teman-teman!
Si Jago Marah
Ibu memiliki dua belas ekor ayam betina dan satu ekor ayam jantan yang tubuhnya cukup besar dan biasa dipanggil Si Jago. Semua ayam ibu tadi dibuatkan kandang di belakang rumah, sehingga kalau malam mereka tidak tidur di sembarang tempat.
Pagi – pagi benar sebelum Ibu memasak untuk sarapan, semua ayamnya diberi makanan berupa nasi dan sayur sisa. Meskipun makanan itu semuanya sisa tadi malam, namun ayam –ayam tadi mau makan dengan lahapnya. Maka tidak mengherankan, bila semua ayamnya Ibu gemuk dan sehat.
Beberapa ayam betina sekarang sudah mulai bertelur, sementara ayam betina lainnya sudah mulai mengerami telurnya. Perasaan Ibupun menjadi senang melihat ayam piaraanya bertelur dan mengerami. Setiap hari tak lupa Si Jago selalu menjaga mereka, sehingga telur – telur yang ada di kandang tidak di makan tikus.
Namun Si Jago akan membiarkan saja bila Ibu mengambil salah satu telur mereka untuk digoreng. Tetapi bila ada hewan lain yang mendekati kandang-kandang ayam betina Si Jago pun akan marah dan segera menerjang dan mematuknya. Ibupun sangat sayang dengan ulah Si Jago ini.
Berbeda jauh dengan Amran yang sama sekali tidak suka dengan ayam-ayam ini. Jangankan memberi makan, dekat dengan ayam –ayam ini saja dia tidak mau, bahkan dia sering mengejar ayam ayam itu dan kadang kadang melempar dengan benda apa saja. Makanya semua ayamnya Ibu sangat ketakutan bila dekat dengan Amran.
Suatu hari saat Amran jalan kaki bersama teman – temannya pulang dari sekolah, dia bertemu dengan Ibu Siti pemilik warung makan, yang tempatnya tidak jauh dari rumahnya.
” Amran, coba kamu tanya ibumu, berapa harga telur ayam kampung. Bu Siti tiap hari butuh untuk dimasak. Nanti coba tanyakan, ya ” pinta Bu Siti.
” Ya Bu, nanti segera aku tanyakan sama Ibu , Bu Siti butuh telur berapa ? ” jawab Amran.
” Sebanyak – banyaknya, nanti aku tunggu kamu di warung , ya ! ”
” Ya, bu ! “.
Menjumpai tawaran Bu Siti tadi, timbulah niat jahat Amran untuk mencuri telur – telur ayam milik Ibunya. Niat Amran bertambah kuat, setelah rencana jahatnya itu didukung oleh teman karibnya, yaitu Leo dan Joko. Maka tanpa pikir panjangpun Amran segera membulatkan tekadnya. Bahkan kini dia telah punya rencana, setelah makan siang nanti dia akan berpura-pura belajar mengerjakan soal – soal di LKS.
Amran tahu betul setiap selesai dia makan siang, Ibunya langsung pergi tidur siang dan kadang kadang dia diajak Ibunya untuk bareng tidur siang. Namun kali ini dia beralasan tidak menemani tidur siang Ibunya, karena banyak PR di LKS, yang harus dia dikerjakan. Sementara itu sejak dia makan siang tadi, hingga kini beberapa kali sempat dia dengar kokok ayam betina pertanda baru saja mereka bertelur.
Hati Amran bergembira tiada terkira, setelah dia mendapatkan 5 telur yang masih baru. Maka kini tanpa menunggu waktu lagi, dia bergegas menyerahkan telur itu pada Ibu Siti dan Amranpun menerima uang dari Ibu Siti sebesar lima ribu rupiah dan kini dia pun bergabung dengan Leo dan Joko untuk main play – station di ruko depan sekolah mereka.
Demikian seterusnya hari demi hari ulah Amran tiada pernah berhenti, sampai suatu hari Ibunya kaget bukan kepalang. Lantaran telur ayam – ayamnya diluar dugaan sekarang berkurang banyak. Maka dia pun segera mengadu ke Bapaknya Amran tentang hilangnya telur – telur yang harusnya dierami oleh ayam mereka. Bapaknya Amranpun segera meneliti hilangnya telur – telur tersebut.
” Ini mungkin dimakan tikus apa kucing, Bu ? ” jawab Bapaknya Amran setelah meneliti kandang ayam mereka.
” Tapi Si Jago kok diam Pak, biasanya kalau ada tikus. Si Jago langsung berkokok ”
” Mungkin sudah, tapi Ibu yang nggak dengar ”
” Ya sudah, makanya kalau siang hari jangan sering tidur. Nanti di atas kandang Bapak pasang lampu. Sehingga kalau malam tikus tidak berani menyerang dan untuk kandangnya biar Bapak lapisi dengan anyaman kawat ”
Hari itu seharian Bapaknya Amran sibuk memperbaiki kandang ayam mereka sekaligus memasang lampu penerangan. Kegiatan ini sudah barang tentu membuat hati Amran dan kedua temanya bersedih. Lantaran ketiganya hari ini tidak bisa bermain play – station.
Barangkali hanya perasaan ayam – ayam tersebut dan Si Jago tentunya yang merasa marah dengan ulah Amran. Hanya saja mereka tidak mampu mengadukan kepada kita semua, barangkali saja rasa marah dari ayam – ayam itu sudah memuncak, lantaran telur mereka sering di ambil Amran. Merekapun akan membuat perhitungan bila ulah si Amran dilakukan lagi.
Benar saja ternyata rencana mereka tidak hanya omong kosong belaka. Kala Amran sudah mengantongi 5 buah telur di saku bajunya, semua ayam betina kontan bersamaan berkokok sekeras – kerasnya. Hal ini tentu saja membuat Amran kaget bukan kepalang. Ditambah lagi tanpa diduga sebelumnya Si Jago langsung ,menerjang dia dengan cara melompat ke arah muka Amran sambil mencakar wajahnya.
Serangan Si Jago ini akhirnya membuat Amran terjatuh karena kehilangan keseimbangannya dan mengakibatkan telur – telur yang ada di kantongnya pecah membasahi bajunya. Sudah barang tentu kegaduhan ini membuat Ibunya Amran terbangun dari tidur siangnya dan menjadi kaget melihat Amran menangis dan berdarah di pipinya. Perasaan Ibunya menjadi bertambah kaget ketika melihat bajunya Amran dibasahi telur yang pecah.
” Oh jadi kamu Amran !, yang mengambil telur. Perbuatanmu itu tidak baik, Anakku ! ” Seru Ibunya sambil menarik telinga Amran
” Ampun Bu, betul Bu, Amran yang ambil ”
” Baik, nanti Ibu adukan perbuatanmu pada Bapakmu, biar nanti Bapak yang menghukum kamu ” ancaman Ibunya itu membuat Amran takut setengah mati.
” Jangan Bu, Amran kapok, betul Bu ”
” Kalau kamu takut sama Bapak kamu, Ibu ingin kamu berjanji di depan Ibu tidak akan mengulangi perbuatanmu ! ”
Amranpun berjanji di depan Ibunya tidak akan berbuat jahat lagi.
Pagi – pagi benar sebelum Ibu memasak untuk sarapan, semua ayamnya diberi makanan berupa nasi dan sayur sisa. Meskipun makanan itu semuanya sisa tadi malam, namun ayam –ayam tadi mau makan dengan lahapnya. Maka tidak mengherankan, bila semua ayamnya Ibu gemuk dan sehat.
Beberapa ayam betina sekarang sudah mulai bertelur, sementara ayam betina lainnya sudah mulai mengerami telurnya. Perasaan Ibupun menjadi senang melihat ayam piaraanya bertelur dan mengerami. Setiap hari tak lupa Si Jago selalu menjaga mereka, sehingga telur – telur yang ada di kandang tidak di makan tikus.
Namun Si Jago akan membiarkan saja bila Ibu mengambil salah satu telur mereka untuk digoreng. Tetapi bila ada hewan lain yang mendekati kandang-kandang ayam betina Si Jago pun akan marah dan segera menerjang dan mematuknya. Ibupun sangat sayang dengan ulah Si Jago ini.
Berbeda jauh dengan Amran yang sama sekali tidak suka dengan ayam-ayam ini. Jangankan memberi makan, dekat dengan ayam –ayam ini saja dia tidak mau, bahkan dia sering mengejar ayam ayam itu dan kadang kadang melempar dengan benda apa saja. Makanya semua ayamnya Ibu sangat ketakutan bila dekat dengan Amran.
Suatu hari saat Amran jalan kaki bersama teman – temannya pulang dari sekolah, dia bertemu dengan Ibu Siti pemilik warung makan, yang tempatnya tidak jauh dari rumahnya.
” Amran, coba kamu tanya ibumu, berapa harga telur ayam kampung. Bu Siti tiap hari butuh untuk dimasak. Nanti coba tanyakan, ya ” pinta Bu Siti.
” Ya Bu, nanti segera aku tanyakan sama Ibu , Bu Siti butuh telur berapa ? ” jawab Amran.
” Sebanyak – banyaknya, nanti aku tunggu kamu di warung , ya ! ”
” Ya, bu ! “.
Menjumpai tawaran Bu Siti tadi, timbulah niat jahat Amran untuk mencuri telur – telur ayam milik Ibunya. Niat Amran bertambah kuat, setelah rencana jahatnya itu didukung oleh teman karibnya, yaitu Leo dan Joko. Maka tanpa pikir panjangpun Amran segera membulatkan tekadnya. Bahkan kini dia telah punya rencana, setelah makan siang nanti dia akan berpura-pura belajar mengerjakan soal – soal di LKS.
Amran tahu betul setiap selesai dia makan siang, Ibunya langsung pergi tidur siang dan kadang kadang dia diajak Ibunya untuk bareng tidur siang. Namun kali ini dia beralasan tidak menemani tidur siang Ibunya, karena banyak PR di LKS, yang harus dia dikerjakan. Sementara itu sejak dia makan siang tadi, hingga kini beberapa kali sempat dia dengar kokok ayam betina pertanda baru saja mereka bertelur.
Hati Amran bergembira tiada terkira, setelah dia mendapatkan 5 telur yang masih baru. Maka kini tanpa menunggu waktu lagi, dia bergegas menyerahkan telur itu pada Ibu Siti dan Amranpun menerima uang dari Ibu Siti sebesar lima ribu rupiah dan kini dia pun bergabung dengan Leo dan Joko untuk main play – station di ruko depan sekolah mereka.
Demikian seterusnya hari demi hari ulah Amran tiada pernah berhenti, sampai suatu hari Ibunya kaget bukan kepalang. Lantaran telur ayam – ayamnya diluar dugaan sekarang berkurang banyak. Maka dia pun segera mengadu ke Bapaknya Amran tentang hilangnya telur – telur yang harusnya dierami oleh ayam mereka. Bapaknya Amranpun segera meneliti hilangnya telur – telur tersebut.
” Ini mungkin dimakan tikus apa kucing, Bu ? ” jawab Bapaknya Amran setelah meneliti kandang ayam mereka.
” Tapi Si Jago kok diam Pak, biasanya kalau ada tikus. Si Jago langsung berkokok ”
” Mungkin sudah, tapi Ibu yang nggak dengar ”
” Ya sudah, makanya kalau siang hari jangan sering tidur. Nanti di atas kandang Bapak pasang lampu. Sehingga kalau malam tikus tidak berani menyerang dan untuk kandangnya biar Bapak lapisi dengan anyaman kawat ”
Hari itu seharian Bapaknya Amran sibuk memperbaiki kandang ayam mereka sekaligus memasang lampu penerangan. Kegiatan ini sudah barang tentu membuat hati Amran dan kedua temanya bersedih. Lantaran ketiganya hari ini tidak bisa bermain play – station.
Barangkali hanya perasaan ayam – ayam tersebut dan Si Jago tentunya yang merasa marah dengan ulah Amran. Hanya saja mereka tidak mampu mengadukan kepada kita semua, barangkali saja rasa marah dari ayam – ayam itu sudah memuncak, lantaran telur mereka sering di ambil Amran. Merekapun akan membuat perhitungan bila ulah si Amran dilakukan lagi.
Benar saja ternyata rencana mereka tidak hanya omong kosong belaka. Kala Amran sudah mengantongi 5 buah telur di saku bajunya, semua ayam betina kontan bersamaan berkokok sekeras – kerasnya. Hal ini tentu saja membuat Amran kaget bukan kepalang. Ditambah lagi tanpa diduga sebelumnya Si Jago langsung ,menerjang dia dengan cara melompat ke arah muka Amran sambil mencakar wajahnya.
Serangan Si Jago ini akhirnya membuat Amran terjatuh karena kehilangan keseimbangannya dan mengakibatkan telur – telur yang ada di kantongnya pecah membasahi bajunya. Sudah barang tentu kegaduhan ini membuat Ibunya Amran terbangun dari tidur siangnya dan menjadi kaget melihat Amran menangis dan berdarah di pipinya. Perasaan Ibunya menjadi bertambah kaget ketika melihat bajunya Amran dibasahi telur yang pecah.
” Oh jadi kamu Amran !, yang mengambil telur. Perbuatanmu itu tidak baik, Anakku ! ” Seru Ibunya sambil menarik telinga Amran
” Ampun Bu, betul Bu, Amran yang ambil ”
” Baik, nanti Ibu adukan perbuatanmu pada Bapakmu, biar nanti Bapak yang menghukum kamu ” ancaman Ibunya itu membuat Amran takut setengah mati.
” Jangan Bu, Amran kapok, betul Bu ”
” Kalau kamu takut sama Bapak kamu, Ibu ingin kamu berjanji di depan Ibu tidak akan mengulangi perbuatanmu ! ”
Amranpun berjanji di depan Ibunya tidak akan berbuat jahat lagi.
Alarm Berbisik
Shasa masih berbaring di tempat tidurnya sambil menatap kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Mama baru saja keluar kamarnya setelah membangunkan dirinya. Tiba-tiba mata Shasa terbelalak. Hah?! Empat hari lagi mama ulang tahun! Aduuhh.. kok ia bisa lupa ya? Duh.. Shasa ingin memberi kejutan yang berkesan buat mama tapi apa ya? Sebuah ide melintas. Nanti sepulang sekolah ia akan menelepon papa di kantornya. Siapa tahu papa akan dapat memberinya ide. Tapi.. jangan sampai mama mendengar pembicaraan mereka. Itu artinya Shasa harus menunggu situasinya aman sebelum ia menelepon papa. Cepat-cepat Shasa bangkit dari tidurnya. Kalau ia berlama-lama, bisa-bisa waktu subuh sudah berlalu. Dari arah dapur tercium aroma nasi goreng yang menggugah selera. Hmmm.. sedaapp!
Hari itu kebetulan tidak ada jadwal kursus. Sepulang sekolah Shasa bisa sedikit bersantai sambil memerhatikan situasi. Ia harus memastikan mama tidak mendengar percakapannya dengan papa.
Tak lama kemudian dilihatnya mama masuk ke kamar mandi. Sreekk.. Sreekk.. rupanya mama sedang menyikat kamar mandi. Kesempatan yang dinantinya sudah tiba! Shasa langsung melompat dari tempat tidurnya. Dihubunginya papa yang sedang berada di kantor. Untung papa sedang tidak sibuk. Diceritakannya kepada papa perihal ulang tahun mama.
“Bagaimana kalau papa memasak buat mama?” tanya Shasa.
“Memasak?! Wah.. Papa kan tidak bisa memasak, Sha,” kata papa.
“Kalau begitu jalan-jalan ke luar kota saja,” usul Shasa.
“Lohh.. nanti Shasa bagaimana? Shasa mau di rumah sendirian? Hari ulang tahun mama kan bukan hari Sabtu atau Minggu,” kata papa.
Shasa menepuk dahinya. Benar juga yang dikatakan papa.
“Pesan bunga saja, Pa,” Shasa mengemukakan usul lain.
“Wah.. seperti di sinetron saja,” komentar papa.
Shasa tertawa mendengarnya. “Ya sudah kalau begitu papa belikan mama kado saja. Nanti di kartunya ditulis dari Shasa dan papa,” kata Shasa.
“Terus kadonya apa?” tanya papa.
“Apa ya, Pa?” Shasa balik bertanya.
“Bagaimana kalau nanti Papa sudah sampai rumah kita lanjutkan diskusi kita?” Papa mengajukan usul. “Sekarang Papa harus menyiapkan bahan untuk rapat dengan klien,” kata papa.
“Nanti mama bisa tahu rencana kita dong, Pa,” kata Shasa.
“Kita kan bisa curi-curi kesempatan,” papa menenangkan Shasa.
Shasa terkikik mendengarnya. Duhh.. ada-ada saja papa ini. Curi-curi kesempatan? Kok seperti judul sinetron saja.
Malam harinya, setelah melalui perdebatan seru antara Shasa dan papa, tercapai juga kata sepakat kejutan apa yang akan diberikan untuk mama yang akan berulang tahun. Papa dan Shasa akan menyiapkan sarapan untuk mama. Menunya Roti Bakar yang dalamnya ditaburi meises dan susu kental. Bagian luarnya diberi parutan keju dan ditambahkan susu kental. Minumnya teh hijau kesukaan mama. Hmmm.. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Shasa menetes.
Untuk memuluskan rencana mereka, Shasa sengaja merayu mama menemaninya tidur.
“Biasanya Shasa tidur sendiri di kamar Shasa. Kenapa malam ini minta ditemani?” mama mengerutkan keningnya.
“Shasa kangen ingin ditemani mama. Sekali ini saja deh, Ma, ya..ya..ya..” Shasa mengeluarkan jurus rayuannya.
“Sekali ini saja loh, Sha,” mama menegaskan.
Shasa melonjak dan memeluk mama. Hmmm.. Besok mama pasti senang ketika bangun pagi sarapannya sudah tersedia.
Keesokan paginya sebuah tepukan dan ciuman membangunkan Shasa.
“Ayo bangun sayang.. Nanti kesiangan loh..” sebuah suara lembut terdengar.
Shasa membuka matanya. Dilihatnya mama sedang tersenyum memandangnya. Shasa mengucek-ngucek matanya. Direntangkannya tangannya dan diputarnya badannya ke kiri dan ke kanan. Sesuatu tiba-tiba menyentakkannya. Mengapa mama yang membangunkannya? Bukankah seharusnya papa yang membangunkan dirinya dan bersama-sama mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun untuk mama?
Setelah mama keluar dari kamarnya, Shasa berlari menuju kamar orangtuanya. Dibukanya pintu kamar dan dilihatnya papa masih berbaring di tempat tidur. Shasa menarik selimut yang menutupi papa. Ditepuk-tepuknya pipi papa.
“Pa.. Papa.. bangun dong.. Rencana kita gagal nih, Pa,” Shasa menarik selimut yang menyelimuti papa. Dilihatnya mata papa mulai bergerak-gerak.
“Aduh papa.. sarapannya bagaimana?” Shasa menggoyang-goyangkan tubuh papanya.
Papa terduduk dengan terkejut.
“Lohh.. kenapa alarmnya tidak berbunyi ya, Sha?” tanya papa bingung. Mereka berpandangan. Sama-sama tidak tahu harus bagaimana.
Mama muncul di pintu kamar dan memandang mereka berdua dengan heran.
“Kalian bukannya Sholat Subuh kok malah bengong di tempat tidur?” tanya mama.
Papa dan Shasa berpandangan.
“Semalam Papa menyalakan alarm tapi kenapa tidak berbunyi ya?” tanya Papa bingung.
“Oohh.. Alarmnya berbunyi tapi berhubung mama lihat papa tidak terbangun ya mama matikan. Lagipula Mama lihat baru pukul setengah lima pagi.” kata mama.
“Memangnya ada apa sih?” tanya mama sedikit bingung.
“Rencananya papa mau bangun pagi dan menyiapkan sarapan buat mama. Hari ini mama kan berulang tahun. Tapi ternyata papa malah bangun kesiangan,” kata Shasa sambil memandang sebal ke arah papa.
“Habis alarmnya bunyinya berbisik sih jadi tidak terdengar oleh Papa,” kilah Papa. Mama tertawa kecil mendengarnya. Ada-ada saja Papa ini masa’ alarm bisa berbisik.
“Selamat Ulang Tahun, Ma,” Papa berkata sambil menghampiri mama dan mencium pipi mama.
Shasa tidak mau kalah. Diciumnya kedua pipi mama.
“Terima kasih Papa. Terima kasih Shasa sayang. Buat Mama, kalian ingat ulang tahun Mama sudah merupakan kejutan yang indah,” kata mama sambil memeluk Shasa.
“Sekarang lekas Sholat Subuh. Setelah itu Shasa mandi dan sarapan,” perintah mama.
Sebelum mengambil air wudhu, Shasa sempat melihat menu sarapannya. Roti bakar meises dengan parutan keju dan susu kental. Uhmm.. Mantap!!
“Gara-gara alarm berbisik, Shasa gak jadi deh menikmati roti bakar buatan Papa,” komentar Shasa membuat mama tertawa lepas sementara papa tersipu malu.
Hari itu kebetulan tidak ada jadwal kursus. Sepulang sekolah Shasa bisa sedikit bersantai sambil memerhatikan situasi. Ia harus memastikan mama tidak mendengar percakapannya dengan papa.
Tak lama kemudian dilihatnya mama masuk ke kamar mandi. Sreekk.. Sreekk.. rupanya mama sedang menyikat kamar mandi. Kesempatan yang dinantinya sudah tiba! Shasa langsung melompat dari tempat tidurnya. Dihubunginya papa yang sedang berada di kantor. Untung papa sedang tidak sibuk. Diceritakannya kepada papa perihal ulang tahun mama.
“Bagaimana kalau papa memasak buat mama?” tanya Shasa.
“Memasak?! Wah.. Papa kan tidak bisa memasak, Sha,” kata papa.
“Kalau begitu jalan-jalan ke luar kota saja,” usul Shasa.
“Lohh.. nanti Shasa bagaimana? Shasa mau di rumah sendirian? Hari ulang tahun mama kan bukan hari Sabtu atau Minggu,” kata papa.
Shasa menepuk dahinya. Benar juga yang dikatakan papa.
“Pesan bunga saja, Pa,” Shasa mengemukakan usul lain.
“Wah.. seperti di sinetron saja,” komentar papa.
Shasa tertawa mendengarnya. “Ya sudah kalau begitu papa belikan mama kado saja. Nanti di kartunya ditulis dari Shasa dan papa,” kata Shasa.
“Terus kadonya apa?” tanya papa.
“Apa ya, Pa?” Shasa balik bertanya.
“Bagaimana kalau nanti Papa sudah sampai rumah kita lanjutkan diskusi kita?” Papa mengajukan usul. “Sekarang Papa harus menyiapkan bahan untuk rapat dengan klien,” kata papa.
“Nanti mama bisa tahu rencana kita dong, Pa,” kata Shasa.
“Kita kan bisa curi-curi kesempatan,” papa menenangkan Shasa.
Shasa terkikik mendengarnya. Duhh.. ada-ada saja papa ini. Curi-curi kesempatan? Kok seperti judul sinetron saja.
Malam harinya, setelah melalui perdebatan seru antara Shasa dan papa, tercapai juga kata sepakat kejutan apa yang akan diberikan untuk mama yang akan berulang tahun. Papa dan Shasa akan menyiapkan sarapan untuk mama. Menunya Roti Bakar yang dalamnya ditaburi meises dan susu kental. Bagian luarnya diberi parutan keju dan ditambahkan susu kental. Minumnya teh hijau kesukaan mama. Hmmm.. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Shasa menetes.
Untuk memuluskan rencana mereka, Shasa sengaja merayu mama menemaninya tidur.
“Biasanya Shasa tidur sendiri di kamar Shasa. Kenapa malam ini minta ditemani?” mama mengerutkan keningnya.
“Shasa kangen ingin ditemani mama. Sekali ini saja deh, Ma, ya..ya..ya..” Shasa mengeluarkan jurus rayuannya.
“Sekali ini saja loh, Sha,” mama menegaskan.
Shasa melonjak dan memeluk mama. Hmmm.. Besok mama pasti senang ketika bangun pagi sarapannya sudah tersedia.
Keesokan paginya sebuah tepukan dan ciuman membangunkan Shasa.
“Ayo bangun sayang.. Nanti kesiangan loh..” sebuah suara lembut terdengar.
Shasa membuka matanya. Dilihatnya mama sedang tersenyum memandangnya. Shasa mengucek-ngucek matanya. Direntangkannya tangannya dan diputarnya badannya ke kiri dan ke kanan. Sesuatu tiba-tiba menyentakkannya. Mengapa mama yang membangunkannya? Bukankah seharusnya papa yang membangunkan dirinya dan bersama-sama mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun untuk mama?
Setelah mama keluar dari kamarnya, Shasa berlari menuju kamar orangtuanya. Dibukanya pintu kamar dan dilihatnya papa masih berbaring di tempat tidur. Shasa menarik selimut yang menutupi papa. Ditepuk-tepuknya pipi papa.
“Pa.. Papa.. bangun dong.. Rencana kita gagal nih, Pa,” Shasa menarik selimut yang menyelimuti papa. Dilihatnya mata papa mulai bergerak-gerak.
“Aduh papa.. sarapannya bagaimana?” Shasa menggoyang-goyangkan tubuh papanya.
Papa terduduk dengan terkejut.
“Lohh.. kenapa alarmnya tidak berbunyi ya, Sha?” tanya papa bingung. Mereka berpandangan. Sama-sama tidak tahu harus bagaimana.
Mama muncul di pintu kamar dan memandang mereka berdua dengan heran.
“Kalian bukannya Sholat Subuh kok malah bengong di tempat tidur?” tanya mama.
Papa dan Shasa berpandangan.
“Semalam Papa menyalakan alarm tapi kenapa tidak berbunyi ya?” tanya Papa bingung.
“Oohh.. Alarmnya berbunyi tapi berhubung mama lihat papa tidak terbangun ya mama matikan. Lagipula Mama lihat baru pukul setengah lima pagi.” kata mama.
“Memangnya ada apa sih?” tanya mama sedikit bingung.
“Rencananya papa mau bangun pagi dan menyiapkan sarapan buat mama. Hari ini mama kan berulang tahun. Tapi ternyata papa malah bangun kesiangan,” kata Shasa sambil memandang sebal ke arah papa.
“Habis alarmnya bunyinya berbisik sih jadi tidak terdengar oleh Papa,” kilah Papa. Mama tertawa kecil mendengarnya. Ada-ada saja Papa ini masa’ alarm bisa berbisik.
“Selamat Ulang Tahun, Ma,” Papa berkata sambil menghampiri mama dan mencium pipi mama.
Shasa tidak mau kalah. Diciumnya kedua pipi mama.
“Terima kasih Papa. Terima kasih Shasa sayang. Buat Mama, kalian ingat ulang tahun Mama sudah merupakan kejutan yang indah,” kata mama sambil memeluk Shasa.
“Sekarang lekas Sholat Subuh. Setelah itu Shasa mandi dan sarapan,” perintah mama.
Sebelum mengambil air wudhu, Shasa sempat melihat menu sarapannya. Roti bakar meises dengan parutan keju dan susu kental. Uhmm.. Mantap!!
“Gara-gara alarm berbisik, Shasa gak jadi deh menikmati roti bakar buatan Papa,” komentar Shasa membuat mama tertawa lepas sementara papa tersipu malu.
Parfum Hantu
Dilarang melakukan kegiatan mistis
dalam bentuk apapun
di sekitar bangunan ini
Shasa membaca barisan kalimat di papan pengumuman itu dengan seksama. Masih pukul sembilan pagi namun tak urung kalimat itu membuat Shasa bergidik. Ia menggamit lengan mama yang berdiri di sampingnya.
“Memangnya di sini suka ada yang praktek dukun ya, Ma?”
Mama mengernyitkan kening. “Praktek dukun apa?”
Shasa menunjuk ke arah pengumuman yang terpasang di halaman bangunan Lawang Sewu.
“Wah, Mama tidak tahu, Sha. Nanti kita tanyakan kepada pemandu-nya ya.”
“Memangnya kita akan masuk ke dalam gedung seram ini?” tanya Shasa memastikan.
“Ya iyalah,” mama menggerak-gerakkan bola matanya menirukan gaya bicara Shasa. “Sudah jauh-jauh ke Semarang, masa’ hanya berdiri di halaman Lawang Sewu saja sih.”
Shasa memandang gedung besar yang menjulang di hadapannya dengan perasaan seram. Liburan kali ini, papa, mama dan Shasa jalan-jalan ke Semarang. Hari ini mereka akan ke Lawang Sewu.
Shasa mengikuti langkah mama dan papa dengan tetap berpegangan pada lengan mama. Di dalam gedung, Shasa mengendus-ngenduskan hidungnya.
“Kenapa?” mama bertanya heran
“Katanya kalau di suatu tempat tercium bau kentang rebus artinya ada hantunya, Ma.” Shasa menjelaskan.
Mama menjawil hidung Shasa dengan gemas. “Ada-ada saja kamu ini. Hantunya gak gaul tuh. Masa’ pakai parfumnya aroma kentang rebus sih?”
Shasa cemberut. Uhh.. mama ini! Diajak serius malah bercanda.
Seorang pemandu menemani mereka sambil menjelaskan sejarah Lawang Sewu. Lawang artinya pintu. Sewu artinya seribu. Jadi Lawang Sewu artinya pintu seribu. Dinamakan demikian karena jumlahnya pintunya banyak sekali. Luas lahannya saja kurang lebih dua hektar. Wuih…
“Foto di sini, Dik, bagus loh!” pemandu wisata itu menunjuk ke arah ujung tangga. Kaca jendela di bagian itu adalah kaca patri yang bergambar seperti lukisan.
“Nanti waktu mencetak fotonya, dilihat lagi dengan seksama ya, Pak. Siapa tahu ada penampakan.” Papa yang bersiap mengabadikan dengan kamera hanya tersenyum kecil.
Shasa merapatkan tubuhnya ke tubuh mama. Duh.. kok malah semakin seram begini sih, keluh Shasa lagi. Sebenarnya Shasa bukan anak penakut tapi berada di dalam gedung besar yang dibangun pada jaman penjajahan Belanda ini benar-benar membuat nyali Shasa menciut. Apalagi gedung ini sudah lama kosong. Di beberapa tempat langit-langitnya tampak berlumut terkena air hujan yang masuk lewat atap yang bocor. Genangan air hujan tampak menggenang di beberapa sudut ruangan. Belum lagi lorong-lorong yang memanjang terasa hening dan mencekam.
“Tempat ini beberapa kali dipakai untuk shooting film loh.”
Shasa mengernyitkan kening mendengar kata-kata pemandu wisata itu. Lebih tepat rasanya kalau gedung ini dijadikan tempat uji nyali, Shasa berkata dalam hati.
“Sudah, yuk, Ma. Kita keluar saja.” Shasa berbisik sambil menggamit lengan mama.
“Loh, kita kan belum menjelajah ke semua bagian gedung ini.” protes mama.
“Kenapa, Dik? Takut ya?”
Shasa langsung cemberut mendengar kata-kata pemandu wisata itu. Uhh.. kok dia bisa dengar kata-kataku sih, gerutu Shasa. Masih sambil cemberut diikutinya pemandu wisata yang kini menaiki tangga batu menuju ruang yang ada di bawah atap. Dulunya ruangan yang berada di langit-langit ini dimanfaatkan sebagai gudang.
Aroma aneh langsung tercium begitu mereka melangkah ke dalam ruangan itu.
“Ma, ini bau apa?” Shasa bertanya setengah berbisik. “Jangan-jangan ini bau hantu, Ma.”
“Tapi ini kan bukan bau kentang rebus.” Mama membantah. Teringat apa yang dikatakan Shasa tentang bau kentang rebus dan keberadaan hantu.
“Mari kesini, disitu baunya tidak enak.” ajak pemandu wisata yang sedari tadi menemani mama, papa dan Shasa berkeliling Lawang Sewu.
“Ini bau apa sih, Mas?” tanya mama.
“Oh, itu bau parfum, Bu,” jawabnya.
“Parfum apa?” mama bertanya heran
“Itu tuh, yang ada di atas.”
Dengan takut-takut Shasa memandang ke langit-langit ruangan. Takut kalau yang dilihatnya adalah makhluk mengerikan. Dan.. benar saja! Di langit-langit ruangan ada banyak makhluk kecil bersayap berwarna hitam. Matanya yang kecil menatap tajam.
Shasa menarik nafas lega. Ternyata bau menyengat yang tercium adalah bau kotoran Kelelawar. Sesekali beberapa kelelawar itu terbang berpindah tempat bergantung.
Oalahh… ternyata cuma bau kelelawar. Hampir saja Shasa mengira kalau yang ia cium adalah bau parfum hantu.. hehehe..
dalam bentuk apapun
di sekitar bangunan ini
Shasa membaca barisan kalimat di papan pengumuman itu dengan seksama. Masih pukul sembilan pagi namun tak urung kalimat itu membuat Shasa bergidik. Ia menggamit lengan mama yang berdiri di sampingnya.
“Memangnya di sini suka ada yang praktek dukun ya, Ma?”
Mama mengernyitkan kening. “Praktek dukun apa?”
Shasa menunjuk ke arah pengumuman yang terpasang di halaman bangunan Lawang Sewu.
“Wah, Mama tidak tahu, Sha. Nanti kita tanyakan kepada pemandu-nya ya.”
“Memangnya kita akan masuk ke dalam gedung seram ini?” tanya Shasa memastikan.
“Ya iyalah,” mama menggerak-gerakkan bola matanya menirukan gaya bicara Shasa. “Sudah jauh-jauh ke Semarang, masa’ hanya berdiri di halaman Lawang Sewu saja sih.”
Shasa memandang gedung besar yang menjulang di hadapannya dengan perasaan seram. Liburan kali ini, papa, mama dan Shasa jalan-jalan ke Semarang. Hari ini mereka akan ke Lawang Sewu.
Shasa mengikuti langkah mama dan papa dengan tetap berpegangan pada lengan mama. Di dalam gedung, Shasa mengendus-ngenduskan hidungnya.
“Kenapa?” mama bertanya heran
“Katanya kalau di suatu tempat tercium bau kentang rebus artinya ada hantunya, Ma.” Shasa menjelaskan.
Mama menjawil hidung Shasa dengan gemas. “Ada-ada saja kamu ini. Hantunya gak gaul tuh. Masa’ pakai parfumnya aroma kentang rebus sih?”
Shasa cemberut. Uhh.. mama ini! Diajak serius malah bercanda.
Seorang pemandu menemani mereka sambil menjelaskan sejarah Lawang Sewu. Lawang artinya pintu. Sewu artinya seribu. Jadi Lawang Sewu artinya pintu seribu. Dinamakan demikian karena jumlahnya pintunya banyak sekali. Luas lahannya saja kurang lebih dua hektar. Wuih…
“Foto di sini, Dik, bagus loh!” pemandu wisata itu menunjuk ke arah ujung tangga. Kaca jendela di bagian itu adalah kaca patri yang bergambar seperti lukisan.
“Nanti waktu mencetak fotonya, dilihat lagi dengan seksama ya, Pak. Siapa tahu ada penampakan.” Papa yang bersiap mengabadikan dengan kamera hanya tersenyum kecil.
Shasa merapatkan tubuhnya ke tubuh mama. Duh.. kok malah semakin seram begini sih, keluh Shasa lagi. Sebenarnya Shasa bukan anak penakut tapi berada di dalam gedung besar yang dibangun pada jaman penjajahan Belanda ini benar-benar membuat nyali Shasa menciut. Apalagi gedung ini sudah lama kosong. Di beberapa tempat langit-langitnya tampak berlumut terkena air hujan yang masuk lewat atap yang bocor. Genangan air hujan tampak menggenang di beberapa sudut ruangan. Belum lagi lorong-lorong yang memanjang terasa hening dan mencekam.
“Tempat ini beberapa kali dipakai untuk shooting film loh.”
Shasa mengernyitkan kening mendengar kata-kata pemandu wisata itu. Lebih tepat rasanya kalau gedung ini dijadikan tempat uji nyali, Shasa berkata dalam hati.
“Sudah, yuk, Ma. Kita keluar saja.” Shasa berbisik sambil menggamit lengan mama.
“Loh, kita kan belum menjelajah ke semua bagian gedung ini.” protes mama.
“Kenapa, Dik? Takut ya?”
Shasa langsung cemberut mendengar kata-kata pemandu wisata itu. Uhh.. kok dia bisa dengar kata-kataku sih, gerutu Shasa. Masih sambil cemberut diikutinya pemandu wisata yang kini menaiki tangga batu menuju ruang yang ada di bawah atap. Dulunya ruangan yang berada di langit-langit ini dimanfaatkan sebagai gudang.
Aroma aneh langsung tercium begitu mereka melangkah ke dalam ruangan itu.
“Ma, ini bau apa?” Shasa bertanya setengah berbisik. “Jangan-jangan ini bau hantu, Ma.”
“Tapi ini kan bukan bau kentang rebus.” Mama membantah. Teringat apa yang dikatakan Shasa tentang bau kentang rebus dan keberadaan hantu.
“Mari kesini, disitu baunya tidak enak.” ajak pemandu wisata yang sedari tadi menemani mama, papa dan Shasa berkeliling Lawang Sewu.
“Ini bau apa sih, Mas?” tanya mama.
“Oh, itu bau parfum, Bu,” jawabnya.
“Parfum apa?” mama bertanya heran
“Itu tuh, yang ada di atas.”
Dengan takut-takut Shasa memandang ke langit-langit ruangan. Takut kalau yang dilihatnya adalah makhluk mengerikan. Dan.. benar saja! Di langit-langit ruangan ada banyak makhluk kecil bersayap berwarna hitam. Matanya yang kecil menatap tajam.
Shasa menarik nafas lega. Ternyata bau menyengat yang tercium adalah bau kotoran Kelelawar. Sesekali beberapa kelelawar itu terbang berpindah tempat bergantung.
Oalahh… ternyata cuma bau kelelawar. Hampir saja Shasa mengira kalau yang ia cium adalah bau parfum hantu.. hehehe..
Poem For A Best Friend
Dewi and Ana are best friends. They are in the same class in school. Most of the time their friends often find them playing, laughing and chatting together.
It has been several days, Ana seems quieter. If Dewi tell her some stories, she just listens without any comment. Her smile and laughter suddenly disappear.
“What’s wrong with you?” Dewi asks.
Ana stares at her best friend for a moment and says, “My father had been transferred to Surabaya by his office. So, we will move there by the end of this month.”
“What?” Dewi looks so shocked hearing the news.
“I’m sorry to tell you this,” Ana replies. She holds her best friend’s hand.
Dewi takes a deep breath but a minute later her face shows a smile.
“Hey, we still have around two weeks to be together, right? Let’s spend our time by doing things that could make us happy.”
Ana smiles. What a good idea! Sadness will only make the situation worse.
The next day, things are just fine between them. They play, talk, laugh and chat together. They try to spend the time left by doing things that could make them happy.
This Saturday, Ana’s family is holding the farewell party. Tomorrow, they will fly to Surabaya. Dewi feels so sad. Ana is a nice friend. She is so kind and cheerful. Now, she is going to lose her best friend but she believes that their friendship will last forever.
The party runs well. All their classmates come. Before enjoying lunch, the photographer takes their picture together. After that, Dewi stands among the crowd and present a poem.
**********
I shot an arrow into the air
It felt to earth, I knew not where
For so swiftly it flew, the sight
Could not follow it in its flight
I breathed a song into the air
It felt to earth I knew not where
For who has sight so keen and strong
That it can follow the flight of song?
Long.. long afterward, in an oak
I found the arrow, still unbroke
And the song, from the beginning to end
I found again in the heart of a friend
**********
All the audience gives their applause. Ana runs to her best friend and gives her a hug.
“Thank you. That is a really sweet poem,” she whispers.
All of Ana’s classmates come one by one. The boys shake her hand. The girls give her a warm hug.
“Don’t forget to send us letters,” Mutia says. “Tell us all your stories there.”
“I won’t forget,” Ana promises. Her eyes brimmed with tears.
“This is from all of us,” Dewi gives a box with a pink ribbon.
“Thank you,” Ana says. “I’ll keep it. You know, guys, the times we used to have together is one sweet part of my whole life journey.”
“Come visit us on your holiday. We’d be glad to see you again,” Dewi says.
Ana hugs Dewi again.
“We are still best friends, right?” She whispers.
“Of course. Best friends forever,” Dewi replies.
Friendship is a wonderful thing. Keep it and you’ll never be alone.
It has been several days, Ana seems quieter. If Dewi tell her some stories, she just listens without any comment. Her smile and laughter suddenly disappear.
“What’s wrong with you?” Dewi asks.
Ana stares at her best friend for a moment and says, “My father had been transferred to Surabaya by his office. So, we will move there by the end of this month.”
“What?” Dewi looks so shocked hearing the news.
“I’m sorry to tell you this,” Ana replies. She holds her best friend’s hand.
Dewi takes a deep breath but a minute later her face shows a smile.
“Hey, we still have around two weeks to be together, right? Let’s spend our time by doing things that could make us happy.”
Ana smiles. What a good idea! Sadness will only make the situation worse.
The next day, things are just fine between them. They play, talk, laugh and chat together. They try to spend the time left by doing things that could make them happy.
This Saturday, Ana’s family is holding the farewell party. Tomorrow, they will fly to Surabaya. Dewi feels so sad. Ana is a nice friend. She is so kind and cheerful. Now, she is going to lose her best friend but she believes that their friendship will last forever.
The party runs well. All their classmates come. Before enjoying lunch, the photographer takes their picture together. After that, Dewi stands among the crowd and present a poem.
**********
I shot an arrow into the air
It felt to earth, I knew not where
For so swiftly it flew, the sight
Could not follow it in its flight
I breathed a song into the air
It felt to earth I knew not where
For who has sight so keen and strong
That it can follow the flight of song?
Long.. long afterward, in an oak
I found the arrow, still unbroke
And the song, from the beginning to end
I found again in the heart of a friend
**********
All the audience gives their applause. Ana runs to her best friend and gives her a hug.
“Thank you. That is a really sweet poem,” she whispers.
All of Ana’s classmates come one by one. The boys shake her hand. The girls give her a warm hug.
“Don’t forget to send us letters,” Mutia says. “Tell us all your stories there.”
“I won’t forget,” Ana promises. Her eyes brimmed with tears.
“This is from all of us,” Dewi gives a box with a pink ribbon.
“Thank you,” Ana says. “I’ll keep it. You know, guys, the times we used to have together is one sweet part of my whole life journey.”
“Come visit us on your holiday. We’d be glad to see you again,” Dewi says.
Ana hugs Dewi again.
“We are still best friends, right?” She whispers.
“Of course. Best friends forever,” Dewi replies.
Friendship is a wonderful thing. Keep it and you’ll never be alone.
Tragedi Merica
Hari Minggu ini, Shasa akan membantu mama memasak. Kata mama, Shasa sudah cukup besar dan bisa berhati-hati dalam menggunakan pisau dapur. Menu yang akan dimasak adalah Sup Ceker kegemaran Shasa. Eh, sebenarnya bukan cuma Shasa yang suka Sup Ceker. Papa juga suka loh..
Berdua dengan mama, Shasa berbelanja keperluan membuat Sup Ceker ke tukang sayur yang mangkal diujung jalan. Ceker ayam, Kentang, Wortel, Kol, Buncis dan daun Seledri. Hmmm.. Shasa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat memotong-motong sayuran.
Selesai sarapan, acara memasak pun dimulai. Mama mengajari Shasa cara menggunakan Peeler, pisau khusus untuk mengupas kulit sayuran yang tipis. Biasanya digunakan untuk mengupas Kentang dan Wortel. Sreett.. Sreett.. Dengan hati-hati, Shasa mulai mengupas Wortel. Setelah itu giliran Kentang yang dikupas. Selesai dikupas, wortel diiris dan kentang dipotong kecil berbentuk dadu.
Tok.. tok.. tok.. terdengar suara pisau beradu dengan talenan kayu yang digunakan sebagai alas untuk memotong Wortel dan Kentang. Selesai dipotong, keduanya diletakkan dalam wadah berisi air. Kata mama, kalau tidak direndam air, kentang yang sudah dipotong-potong akan berubah warna menjadi kecoklatan.
“Itu apa, Ma?” tanya Shasa. Tugasnya mengiris wortel dan memotong kentang sudah selesai.
“Ini namanya Jahe. Gunanya untuk menghilangkan bau amis Ceker Ayam. Nanti Jahe ini akan dimemarkan dan direbus bersama-sama dengan Ceker Aym,” jelas mama.
“Bumbu Sayur Sop itu apa saja sih, Ma?” tanya Shasa ingin tahu.
“Bumbunya sederhana saja. Hanya Bawang Putih dan Merica yang dihaluskan kemudian ditumis dan dimasukkan kedalam rebusan Ceker Ayam,” Mama menjelaskan.
“Aduh, Sha, Mama lupa membeli merica,” Mama berseru panik saat membuka tempat merica ternyata dalam keadaan kosong.
“Coba tolong lihat, tukang sayur di ujung jalan masih ada tidak?” pinta mama. Shasa bergegas ke luar rumah.
“Tukang sayurnya sudah tidak ada, Ma,” lapornya. “Tidak usah pakai merica deh, Ma.”
“Aduh, Sha, nanti gak enak dong sayur Sop-nya,” keluh Mama
“Beli di minimarket saja, Ma,” usul Shasa.
“Di minimarket biasanya hanya menjual merica halus. Dibanding dengan merica butiran, aromanya kurang. Tapi apa boleh buat..” Mama tampak berfikir sejenak. “Kalau begitu Shasa pergi ke minimarket bersama Papa membeli merica halus. Mama di rumah merebus ceker ayam. Bagaimana?”
“Oke deh,” Shasa langsung setuju. Dicarinya Papa yang dengan senang hati langsung bersedia mengantar dan menemani Shasa ke minimarket.
Tak lama kemudian Shasa sudah kembali tiba di rumah.
“Merica halus-nya tidak ada, Ma,” lapornya.
Mama mengerutkan kening.
“Benar tidak ada?” tanya mama memastikan.
“Benar,” Shasa mengangguk yakin. “Tuh, tanya saja papa kalau tidak percaya,” katanya lagi.
“Iya, tadi Papa lihat di rak tempat bumbu-bumbu tidak ada merica halus,” Papa mengiyakan.
Mama tampak berfiikir. “Coba Shasa ceritakan, yang ada di rak bumbu-bumbu itu apa saja?” tanya mama.
Shasa mengingat-ingat. “Disitu ada Garlic powder. Garlic itu Bawang Putih kan, Ma?” tanyanya.
Mama menganggukkan kepala. “Selain Garlic Powder ada apa lagi?” tanya mama dengan sabar.
“Ada ketumbar halus, garam halus, lada halus..”
Kata-kata Shasa terhenti manakala dilihatnya mama tersenyum lebar.
“Kenapa sih, Ma?” tanyanya bingung.
“Shasa sayang, lada itu nama lain dari merica,” jawab mama sambil sibuk menahan senyumnya supaya tidak semakin lebar.
Shasa berpandangan dengan papa.
“Sudah sana balik lagi ke minimarket,” kata mama. “Cepat ya, Ceker Ayam-nya sudah empuk nih,” mama melanjutkan kata-katanya.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal, Shasa mengekor di belakang papa yang segera beranjak dari dapur.
Lada sama dengan merica
“Mana Shasa tahu kalau lada dan merica itu sama,” gumam Shasa.
“Papa juga baru tahu,” Papa berkomentar.
Di dapur mama tidak bisa lagi menahan tawanya. Ha..ha..ha
Berdua dengan mama, Shasa berbelanja keperluan membuat Sup Ceker ke tukang sayur yang mangkal diujung jalan. Ceker ayam, Kentang, Wortel, Kol, Buncis dan daun Seledri. Hmmm.. Shasa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat memotong-motong sayuran.
Selesai sarapan, acara memasak pun dimulai. Mama mengajari Shasa cara menggunakan Peeler, pisau khusus untuk mengupas kulit sayuran yang tipis. Biasanya digunakan untuk mengupas Kentang dan Wortel. Sreett.. Sreett.. Dengan hati-hati, Shasa mulai mengupas Wortel. Setelah itu giliran Kentang yang dikupas. Selesai dikupas, wortel diiris dan kentang dipotong kecil berbentuk dadu.
Tok.. tok.. tok.. terdengar suara pisau beradu dengan talenan kayu yang digunakan sebagai alas untuk memotong Wortel dan Kentang. Selesai dipotong, keduanya diletakkan dalam wadah berisi air. Kata mama, kalau tidak direndam air, kentang yang sudah dipotong-potong akan berubah warna menjadi kecoklatan.
“Itu apa, Ma?” tanya Shasa. Tugasnya mengiris wortel dan memotong kentang sudah selesai.
“Ini namanya Jahe. Gunanya untuk menghilangkan bau amis Ceker Ayam. Nanti Jahe ini akan dimemarkan dan direbus bersama-sama dengan Ceker Aym,” jelas mama.
“Bumbu Sayur Sop itu apa saja sih, Ma?” tanya Shasa ingin tahu.
“Bumbunya sederhana saja. Hanya Bawang Putih dan Merica yang dihaluskan kemudian ditumis dan dimasukkan kedalam rebusan Ceker Ayam,” Mama menjelaskan.
“Aduh, Sha, Mama lupa membeli merica,” Mama berseru panik saat membuka tempat merica ternyata dalam keadaan kosong.
“Coba tolong lihat, tukang sayur di ujung jalan masih ada tidak?” pinta mama. Shasa bergegas ke luar rumah.
“Tukang sayurnya sudah tidak ada, Ma,” lapornya. “Tidak usah pakai merica deh, Ma.”
“Aduh, Sha, nanti gak enak dong sayur Sop-nya,” keluh Mama
“Beli di minimarket saja, Ma,” usul Shasa.
“Di minimarket biasanya hanya menjual merica halus. Dibanding dengan merica butiran, aromanya kurang. Tapi apa boleh buat..” Mama tampak berfikir sejenak. “Kalau begitu Shasa pergi ke minimarket bersama Papa membeli merica halus. Mama di rumah merebus ceker ayam. Bagaimana?”
“Oke deh,” Shasa langsung setuju. Dicarinya Papa yang dengan senang hati langsung bersedia mengantar dan menemani Shasa ke minimarket.
Tak lama kemudian Shasa sudah kembali tiba di rumah.
“Merica halus-nya tidak ada, Ma,” lapornya.
Mama mengerutkan kening.
“Benar tidak ada?” tanya mama memastikan.
“Benar,” Shasa mengangguk yakin. “Tuh, tanya saja papa kalau tidak percaya,” katanya lagi.
“Iya, tadi Papa lihat di rak tempat bumbu-bumbu tidak ada merica halus,” Papa mengiyakan.
Mama tampak berfiikir. “Coba Shasa ceritakan, yang ada di rak bumbu-bumbu itu apa saja?” tanya mama.
Shasa mengingat-ingat. “Disitu ada Garlic powder. Garlic itu Bawang Putih kan, Ma?” tanyanya.
Mama menganggukkan kepala. “Selain Garlic Powder ada apa lagi?” tanya mama dengan sabar.
“Ada ketumbar halus, garam halus, lada halus..”
Kata-kata Shasa terhenti manakala dilihatnya mama tersenyum lebar.
“Kenapa sih, Ma?” tanyanya bingung.
“Shasa sayang, lada itu nama lain dari merica,” jawab mama sambil sibuk menahan senyumnya supaya tidak semakin lebar.
Shasa berpandangan dengan papa.
“Sudah sana balik lagi ke minimarket,” kata mama. “Cepat ya, Ceker Ayam-nya sudah empuk nih,” mama melanjutkan kata-katanya.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal, Shasa mengekor di belakang papa yang segera beranjak dari dapur.
Lada sama dengan merica
“Mana Shasa tahu kalau lada dan merica itu sama,” gumam Shasa.
“Papa juga baru tahu,” Papa berkomentar.
Di dapur mama tidak bisa lagi menahan tawanya. Ha..ha..ha
Lukisan Anggrek
Sore berangsur petang di pantai Kuta.
“Santi, sudah petang, ayo kita kembali ke penginapan.” ajak Papa.
“Lihat, Tante Lusi sudah duluan ke mobil.” imbuh Mama di belakang Papa.
“Iya.., iya.., sebentar Pa… Santi mau cetak pasir sekali lagi. Boleh ya Pa..?” rengek Santi. “Pa! Papa!” teriak Santi ketika melihat Papa dan Mama menyusul Tante Lusi.
Sampai di penginapan, wajah Santi masih cemberut. Santi masih ingin berlama-lama di pantai. Tahun lalu Santi bermain pasir bersama Sinta, adik perempuannya. Namun kini Sinta telah meninggalkan Santi selamanya karena sakit keras.
“Besuk kita ke pasar Sukawati kan Pa. Mama mau beli beberapa lukisan.” Mama duduk di samping Papa yang tengah menonton TV.
“Lukisan Mama sudah banyak, mau ditaruh di mana lagi?” Tangan Papa sibuk memilih program TV.
“Di kamar Santi belum ada lukisan, ya kan Santi?” Mama menoleh ke arah Santi. “Di teras depan juga mau Mama taruh lukisan.” lanjut Mama setelah melihat Santi tak menjawab.
“Santi tidak butuh lukisan.” sahut Santi tiba-tiba, dan tanpa berkata-kata lagi, ia masuk kamar.
“Ada apa anak manis?” Tante Lusi menutup majalahnya. “Tadi udah janji loh, gak akan marahan lagi.., gak akan manja lagi. Ada apa sayang?” ulang Tante Lusi dengan hati-hati.
“Gak ada. Santi mau tidur!”
“Ooh…, cuma mau tidur, ya udah mau tidur sama Tante apa sama Mama?”
“Sama Tante!”
“Oke dech, selamat tidur. Mimpi bagus ya, jangan lupa berdoa. Udah pamit sama Mama Papa?”
Santi tak menjawab. Ia menelungkupkan badannya ke bawah bantal.
Pagi setelah sarapan, Santi dan keluarganya bersiap pergi ke pasar Sukawati. Tiba-tiba mobil kijang Papa mogok. Sambil menunggu mobil diperbaiki, Santi berjalan-jalan di sekitar penginapan bersama Tante Lusi. Di depan pintu gerbang penginapan, rupanya banyak pedagang berkerumun. Mereka langsung menyerbu ketika melihat Santi dan Tante Lusi.
“Ibuk, beli pathungnya Buk… Murah-murah saja, unthuk penglaris ya Buuk..”
“Beli sarung panthainya ya Buk. Ini warnanya manis-manis. Murah..”
“Baju barongnya Buk. Nih bagus-bagus. Ada baju panjang juga…”
Wah, semua pedagang menyodorkan barang dagangannya.
“Beli lukisannya yaa…?” celetuk bocah perempuan, seusia Santi.
“Ehm….” Santi hanya bergumam. Dicarinya Tante Lusi tapi sudah jauh di sana.
“Bagus-bagus. Boleh dilihat-lihat…” tangan kurusnya menyodorkan lukisan ke arah Santi. “Saya sendiri yang melukis.” tambah gadis kecil itu bangga.
“Oh ya?” Santi tak bisa menyembunyikan kekaguman pada lukisan yang dipegangnya.
Santi duduk di jok tengah dengan Tante Lusi. Mama duduk di depan menemani Papa. Mobil kijang telah sampai di pelabuhan gilimanuk. Semua turun dari mobil kemudian menuju ruang penumpang kapal. Santi memilih tempat duduk dekat jendela. Ia tatap sebuah pulau, makin lama makin jauh. Dan ketika kapal mulai menepi di pelabuhan ketapang, terasa susuatu yang hanyat di kedua matanya yang bulat.
Mobil terus melaju meninggalkan pelabuhan ketapang.
“Kok diam aja San, capek ya. Sebentar lagi sampai.” kata Papa ketika berhenti mengisi bahan bakar.
“Jam berapa sampai di Malang Pa?” Santi menguap menahan kantuk.
“Kira-kira jam lima sore nanti kita udah di rumah.” jawab Papa.
“Bener Pa?” Santi sudah tak sabar.
Dan, ketika mobil memasuki pekarangan, Santi langsung berlari ke dalam rumah. Di tangannya ada bungkusan kertas warna coklat. Santi melepas sepatu dan jaket merah mudanya. Setelah mencuci kaki dan tangan, ia mengunci kamarnya dari dalam.
Santi makin tak sabar membuka bungkusan. Ternyata sebuah surat dengan tulisan tangan.
Untuk sahabat baruku yang manis, Santi Diah Permata.
Santi, senang sekali berkenalan denganmu. Sayangnya kita hanya sebentar bertemu ya. Kamu harus segera pulang ke Malang. Saat kamu baca surat ini, mungkin aku masih berjualan. Dan lusa aku juga mulai masuk sekolah setelah libur panjang. Biasanya, pulang dari sekolah aku terus melukis.
Santi, sejak Bapak meningga,l aku rajin membantu Ibu. Ibuku…, kamu masih ingat seorang Ibu yang menjual baju barong? Dia itu ibuku, Santi. Ibu menjual baju barong milik orang lain. Nanti Ibu akan mendapatkan upah.
Santi, aku masih ingat, betapa kamu terkejut saat kubilang aku sendiri yang melukis ini. Iya Santi, dari kecil aku sudah pandai melukis. Bapak dulu seorang pelukis. Bapak juga yang mengajari aku melukis. Oh ya Santi, terimakasih sudah membeli lukisanku. Dan ini kuberikan lukisan bunga anggrek putih, sebagai tanda persahabatan kita. Tolong dibingkai sendiri yaa...
Selesai membaca surat ini, cepat balas ya. Aku tak sabar menunggu suratmu dan jangan lupa sertakan foto kamu beserta adikmu, almarhumah Sinta. Aku tak sabar ingin melihat fotonya, yang kamu bilang sangat mirip denganku.
Udah dulu ya Santi….
Sahabat barumu
(Putu Eka Cahyani)
Santi menghela nafas panjang. Tangannya melipat kertas dan pandangannya tertuju pada luar jendela. Ketika matanya menatap bunga putih di pot gantung, tiba-tiba ada sejuk dalam hatinya. Dan kini mata Santi nampak berkaca-kaca. Bunga anggrek putih di luar itu, sama cantiknya dengan lukisan di tangannya.
Bahkan sama bentuk bunga dan daunnya….
“Santi, sudah petang, ayo kita kembali ke penginapan.” ajak Papa.
“Lihat, Tante Lusi sudah duluan ke mobil.” imbuh Mama di belakang Papa.
“Iya.., iya.., sebentar Pa… Santi mau cetak pasir sekali lagi. Boleh ya Pa..?” rengek Santi. “Pa! Papa!” teriak Santi ketika melihat Papa dan Mama menyusul Tante Lusi.
Sampai di penginapan, wajah Santi masih cemberut. Santi masih ingin berlama-lama di pantai. Tahun lalu Santi bermain pasir bersama Sinta, adik perempuannya. Namun kini Sinta telah meninggalkan Santi selamanya karena sakit keras.
“Besuk kita ke pasar Sukawati kan Pa. Mama mau beli beberapa lukisan.” Mama duduk di samping Papa yang tengah menonton TV.
“Lukisan Mama sudah banyak, mau ditaruh di mana lagi?” Tangan Papa sibuk memilih program TV.
“Di kamar Santi belum ada lukisan, ya kan Santi?” Mama menoleh ke arah Santi. “Di teras depan juga mau Mama taruh lukisan.” lanjut Mama setelah melihat Santi tak menjawab.
“Santi tidak butuh lukisan.” sahut Santi tiba-tiba, dan tanpa berkata-kata lagi, ia masuk kamar.
“Ada apa anak manis?” Tante Lusi menutup majalahnya. “Tadi udah janji loh, gak akan marahan lagi.., gak akan manja lagi. Ada apa sayang?” ulang Tante Lusi dengan hati-hati.
“Gak ada. Santi mau tidur!”
“Ooh…, cuma mau tidur, ya udah mau tidur sama Tante apa sama Mama?”
“Sama Tante!”
“Oke dech, selamat tidur. Mimpi bagus ya, jangan lupa berdoa. Udah pamit sama Mama Papa?”
Santi tak menjawab. Ia menelungkupkan badannya ke bawah bantal.
Pagi setelah sarapan, Santi dan keluarganya bersiap pergi ke pasar Sukawati. Tiba-tiba mobil kijang Papa mogok. Sambil menunggu mobil diperbaiki, Santi berjalan-jalan di sekitar penginapan bersama Tante Lusi. Di depan pintu gerbang penginapan, rupanya banyak pedagang berkerumun. Mereka langsung menyerbu ketika melihat Santi dan Tante Lusi.
“Ibuk, beli pathungnya Buk… Murah-murah saja, unthuk penglaris ya Buuk..”
“Beli sarung panthainya ya Buk. Ini warnanya manis-manis. Murah..”
“Baju barongnya Buk. Nih bagus-bagus. Ada baju panjang juga…”
Wah, semua pedagang menyodorkan barang dagangannya.
“Beli lukisannya yaa…?” celetuk bocah perempuan, seusia Santi.
“Ehm….” Santi hanya bergumam. Dicarinya Tante Lusi tapi sudah jauh di sana.
“Bagus-bagus. Boleh dilihat-lihat…” tangan kurusnya menyodorkan lukisan ke arah Santi. “Saya sendiri yang melukis.” tambah gadis kecil itu bangga.
“Oh ya?” Santi tak bisa menyembunyikan kekaguman pada lukisan yang dipegangnya.
Santi duduk di jok tengah dengan Tante Lusi. Mama duduk di depan menemani Papa. Mobil kijang telah sampai di pelabuhan gilimanuk. Semua turun dari mobil kemudian menuju ruang penumpang kapal. Santi memilih tempat duduk dekat jendela. Ia tatap sebuah pulau, makin lama makin jauh. Dan ketika kapal mulai menepi di pelabuhan ketapang, terasa susuatu yang hanyat di kedua matanya yang bulat.
Mobil terus melaju meninggalkan pelabuhan ketapang.
“Kok diam aja San, capek ya. Sebentar lagi sampai.” kata Papa ketika berhenti mengisi bahan bakar.
“Jam berapa sampai di Malang Pa?” Santi menguap menahan kantuk.
“Kira-kira jam lima sore nanti kita udah di rumah.” jawab Papa.
“Bener Pa?” Santi sudah tak sabar.
Dan, ketika mobil memasuki pekarangan, Santi langsung berlari ke dalam rumah. Di tangannya ada bungkusan kertas warna coklat. Santi melepas sepatu dan jaket merah mudanya. Setelah mencuci kaki dan tangan, ia mengunci kamarnya dari dalam.
Santi makin tak sabar membuka bungkusan. Ternyata sebuah surat dengan tulisan tangan.
Untuk sahabat baruku yang manis, Santi Diah Permata.
Santi, senang sekali berkenalan denganmu. Sayangnya kita hanya sebentar bertemu ya. Kamu harus segera pulang ke Malang. Saat kamu baca surat ini, mungkin aku masih berjualan. Dan lusa aku juga mulai masuk sekolah setelah libur panjang. Biasanya, pulang dari sekolah aku terus melukis.
Santi, sejak Bapak meningga,l aku rajin membantu Ibu. Ibuku…, kamu masih ingat seorang Ibu yang menjual baju barong? Dia itu ibuku, Santi. Ibu menjual baju barong milik orang lain. Nanti Ibu akan mendapatkan upah.
Santi, aku masih ingat, betapa kamu terkejut saat kubilang aku sendiri yang melukis ini. Iya Santi, dari kecil aku sudah pandai melukis. Bapak dulu seorang pelukis. Bapak juga yang mengajari aku melukis. Oh ya Santi, terimakasih sudah membeli lukisanku. Dan ini kuberikan lukisan bunga anggrek putih, sebagai tanda persahabatan kita. Tolong dibingkai sendiri yaa...
Selesai membaca surat ini, cepat balas ya. Aku tak sabar menunggu suratmu dan jangan lupa sertakan foto kamu beserta adikmu, almarhumah Sinta. Aku tak sabar ingin melihat fotonya, yang kamu bilang sangat mirip denganku.
Udah dulu ya Santi….
Sahabat barumu
(Putu Eka Cahyani)
Santi menghela nafas panjang. Tangannya melipat kertas dan pandangannya tertuju pada luar jendela. Ketika matanya menatap bunga putih di pot gantung, tiba-tiba ada sejuk dalam hatinya. Dan kini mata Santi nampak berkaca-kaca. Bunga anggrek putih di luar itu, sama cantiknya dengan lukisan di tangannya.
Bahkan sama bentuk bunga dan daunnya….
Langganan:
Postingan (Atom)